Jalanan Berlubang

 Saya termasuk orang yang suka servis sepeda motor. Bukan Sebagai hobi ya. Tapi, sebagai kewajiban saya untuk merawat manuver kesayangan yang siap sedia menghantar dan menemani saya ke mana pun saya ingin berkendara.

Suatu saat, ketika saya sedang duduk di kursi tunggu Planet Ban menunggui motor saya yang sedang diperbaiki kondisi ban dan menambah oli di dalamnya datanglah seorang bapak-bapak yang juga memperbaiki ban sepeda motornya.

Setelah membahas keluhan manuver miliknya kepada mas-mas montir, si bapak itu duduk di samping saya.

"Mbak, bannya kenapa?"

"Tambah oli ban, sih, Pak. Sama cek ban, soalnya mau perjalanan jauh."

"Oh! Memangnya mbaknya mau ke mana?"

"Ke Kediri, Pak."

Kala itu saya sedang tinggal di Malang untuk menempuh pendidikan di salah satu universitas.

Semenjak semester 3 perkuliahan, saya selalu mengendarai sepeda motor untuk pulang ke Kediri maupun kembali ke tanah rantau Malang.

Banyak dari teman saya yang heran dan merasa kasihan. Sebab, mereka tahu tubuh saya ini tergolong mungil. Saya tahu mereka tidak tega melihat teman kuliahnya yang mungil bahkan nampak masih pantas berada di jenjang menengah pertama mengendarai sepeda motor berkilo-kilo jauhnya. Saya menghormati rasa simpati mereka.

"Mbak, di tengah perjalanan nanti pasti menemukan jalanan berlubang. Biasanya mbak menghindar atau dilewati begitu saja?"

"Saya biasanya menghindar, Pak. Tapi melihat spion juga, kalau-kalau ada kendaraan lain di belakang saya."

"Kalau saya biasanya tak trabas aja, mbak. Bagus kalau mbaknya lihat spion. Masih mikir pengendara lain. Saya sering ketika berkendara menemui orang-orang yang menghindari jalanan berlubang. Akhirnya ya pengendara di belakangnya yang kelabakan. Nyeleot ngindari pengendara yang ngindari jalanan berlubang biar ndak tabrakan."

Saya mendengarkan dengan hikmat. Memperhatikan si bapak sambil manggut-manggut.

"Ya karena gini, mbak, kalau saya trabas lubang itu, paling kerusakan paling parah ya peleg motor saya. Kalau rusak tinggal diganti. Nah, kalau menghindar pas enggak tahu di belakang kita ada pengendara lain trus nabrak gara-gara kita ngleyot, jadinya malah mencelakakan orang lain."

Pendapat si bapak ini tidak ada salahnya. Bahkan cenderung simpel, dan tidak semua orang bisa menerapkannya.

Kalau peleg rusak, tinggal ganti saja. Saya yakin, si bapak itu sudah beberapa kali mengganti peleg motornya. Nampak dari kilauan peleg yang masih baru tetapi warna ban dan body motornya yang usang.

Menurut saya, apa yang dilakukan si bapak itu patut untuk diapresiasi. Banyak pengendara yang mementingkan diri, tidak mau rugi. Sedangkan si bapak itu, lebih baik rugi pada peleg daripada luka kulit debam aspal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Investasi Ilmu, Emang Ada?

Tiga Poin Terakhir dalam Journal Activities

Indscript Creative dalam Sosial Media