Barang Berharga

 Karena mak Siti tidak ingin tinggal di ibu kota bersama kedua anaknya. Pada akhirnya, kedua anak mak Siti membangunkan rumah layak huni untuk mak Siti. Awalnya mak Siti tidak ingin rumah reyotnya dibangun ulang. Perlu bujukan berulang agar mak Siti mau menerima kebaikan sebagai balas budi kepada ibu mereka.

Tembok anyaman bambu, gedek, dirubuhkan diganti dengan batu bata. Lantai tanah dilapisi dengan semen. Mak Siti tidak ingin lantainya dipasang keramik, cukup diplester saja, begitu ujarnya. Sanitasi kamar mandi dipoles menjadi kamar mandi yang lebih nyaman ketika digunakan untuk mandi, mencuci, dan keperluan lain di sana. Sebuah kendi sebagai wadah air untuk berwudu juga terpasang di samping kamar mandi.

Untuk bagian dapur, mak Siti tetap pada pendiriannya untuk tetap menggunakan tungku. Ia tak ingin repot menenteng tabung gas dari warung sebelah rumah Pak Dollah, belum lagi harus memasang selang penyambung antara tabung gas dengan kompor.

"Aku tetap memasak dengan tungku. Jangan diutak-atik soal dapur itu."

Kedua anak mak Siti menurut. Hanya gedek yang diganti dengan batu-bata. Tak lupa cerobong asap dibuat. Sirkulasi udara yang baik selama memasak memang dibutuhkan untuk kebaikan sistem pernapasan manusia.

***

Aku tetap berkunjung ke rumah mak Siti sesekali. Sekarang dapurnya tampak lebih bersih, segala bumbu masakan tertata rapi pada lemari kaca yang tertempel pada dinding. Panci-panci yang menggantung pada dinding gedek dulunya, kini tersimpan apik di lemari piring pojok ruangan.

"Rumah mak sekarang lebih bagus, mak."

Mak hanya mengembuskan napas panjang sambil memandang tembok yang telah di cat warna putih. "Sebenernya, mak, ingin rumah yang lama saja."

"Lho, kenapa mak? Kan ini lebih bagus."

"Mak cuma ingin hidup sederhana saja, nduk."

Aku mendekat, duduk di samping mak pada kursi ruang tamu yang empuk dengan warna hijau. Memeluk mak Siti selayaknya nenek sendiri.

"Bukankah ini rezeki untuk emak?"

"Justru itulah. Mak, tidak berani mengeluh ke anak-anak. Hanya bersabar saja." Mak tersenyum.

"Baiklah, mak. Aku pamit pulang dulu. Assalamu'alaikum."

Aku meninggalkan mak Siti yang masih memandangi dinding barunya. Aroma cat tembok sedikit menguar beradu dengan bau barang-barang yang masih anyar.

"Nduk!"

Aku segera menghentikan langkah pada posisi di ambang pintu ketika mak Siti memanggil.

"Kalau kamu merasa kesepian, mampirlah ke sini."

Aku memandang mak Siti dengan heran. Aku bahkan tidak merasa kesepian. Ibu dan Ayah masih serumah denganku. Mungkinkah itu perasaan mak sendiri yang disiratkan padaku?

***

Malam ini aku gelisah. Tidak dapat tidur dengan nyenyak. Entah kasur ini yang berubah menjadi keras, atau pikiranku yang sedang kacau. Bayang-bayang mak Siti terlintas di depan mata bagai lembaran foto yang diputar menjadi sebuah film. Bayang-bayang itu adalah adegan mak Siti yang mengucapkan jika aku kesepian, aku dianjurkan untuk ke rumahnya.

Aku memikirkan mak Siti yang mungkin selalu kesepian. Ah, mak Siti, apa yang sebenarnya hendak mak keluhkan?

Aku meraih ponsel untuk menghubungi Indra. Tetapi jam menunjukkan dini hari. Kuputuskan menghubunginya melalui pesan teks saja.

Lantas tertidur.

Keesokan pagi, warga dihebohkan dengan laporan salah satu rumah warga yang kemalingan. Penjaga pos melihat seorang dengan pakaian serba hitam keluar dari kampungnya sesaat sebelum subuh datang. Sembari membawa sebuah benda yang dipikul. Penjaga pos berlari mengejar, tetapi sayang tidak tertangkap.

Anehnya, tidak ada satu warga pun yang kehilangan benda-benda di rumahnya atau rumahnya telah dijebol oleh maling.

"Waktu aku keliling, aku melihatnya melintas di kebun-kebun sana. Jadi aku berlari mengejarnya, tapi entah bagaimana ia tidak terlihat lagi. Aku sudah berkeliling dua kali dan tidak ada tanda-tanda jejak malingnya."

"Bukankah itu kebun dari arah rumah mak Siti?"

Warga berbondong menuju rumah mak Siti. Aku yang mendengar berita itu segera mengekor para warga. Mak Siti yang sedang duduk-duduk di teras tersenyum melihat kedatangan warga.

"Kalau kalian ingin bertanya apakah rumahku kemalingan. Jawabannya tidak. Sebab aku sendiri yang menyuruhnya untuk membawa barang paling berharga di rumah ini."

Warga saling memandang. Merasa aneh dengan jawaban mak Siti. Seorang perempuan renta yang terkadang tingkahnya juga aneh. Begitu juga dengan omongannya.

"Tapi mak tidak kenapa-napa kan?" Aku menerobos gerumbulan warga, mendekati mak Siti dan duduk disampingnya.

Mak Siti tersenyum. Lantas mengusir warga. Lalu masuk ke rumah.

"Sudah, kalian pulang saja. Tidak ada yang kemalingan kan."

Aku mengikuti mak Siti yang duduk di kursi ruang tamu yang empuk itu.

***

Seorang laki-laki dengan pakaian serba hitam memasuki rumah mak Siti dengan paksa lantas mengobrak-abrik isi rumah. Mak Siti yang mendengar suara gerasak-gerusuk segera keluar dari kamar. Mak Siti tampak tenang melihat sesosok bertopeng kain hitam yang hanya terlihat matanya itu. Lantas tersenyum

"Kalau kamu mencari sesuatu yang berharga di rumah ini untuk kamu curi. Aku kasih tahu tempatnya, dan kamu tidak perlu mencurinya. Aku akan memberikannya kepadamu."

Mak Siti melewati laki-laki serba hitam itu menuju samping kamar mandi. Ia mengambil wudu, berdoa, lalu berujar, "Inilah benda paling berharga di rumah ini. Kamu boleh mengambilnya. Isi penuh airnya, lalu pakailah untuk berwudu. Tapi kalau kamu butuh menjual sesuatu, ambillah teve yang ada di ruang tamu. Jual saja, dan gunakan uangnya untuk berdagang. Semoga Allah melancarkan rezekimu sehingga kamu tidak perlu mencuri lagi."

Dengan langkah ragu sang laki-laki menuju kendi, membuka topengnya, berwudu. Mulutnya masih terkatup.

Mak Siti menuju ke dalam rumah. Berjalan melewati dapur menuju ruang tamu. Sang laki-laki mengekor pada mak Siti.

"Ambillah, juallah. Gunakan uangnya untuk modal berdagang. Semoga Allah melancarkan rezekimu sehingga kamu tidak perlu mencuri lagi."

Si laki-laki melangkah dengan ragu-ragu. Mengambil teve yang dimaksud, lantas membawanya pergi. Sesuatu yang ganjil dirasakan oleh laki-laki itu sejak mak Siti memergokinya. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya menjadi kaku. Ia bahkan tidak dapat mengancam perempuan renta itu. Dan anehnya lagi, ia menuruti saja semua arahan mak Siti tanpa mampu melawannya.


(terinspirasi dari cerita Siti Rabiah Al Adawiyah)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jatuh Cinta yang Polos

Latihan Menulis untuk Berbagai Kebutuhan