Janganlah Berganti
Tadi pagi, saya tiba-tiba teringat dengan lagu Sahabat Kecil yang dilatunkan oleh Ipang. Lagu yang tergiang-ngiang pada lirik:
Bersamamu kuhabiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya
Janganlah berganti... Janganlah Berganti... Janganlah Berganti
Tetaplah seperti ini
Membuat saya teringat dengan masa kecil saya bersama teman-teman sebaya di sekolah. Ternyata hal ini juga dirasakan oleh salah satu teman saya.
Ia mengingat masa kecilnya di kampung ketika bersama teman-temannya. Bermain-main, bersenang-senang, bercanda dan tertawa lepas tanpa beban. Tidak memiliki masalah berat akan hidup. Memandang dunia sebagaimana apa adanya dengan daya otak anak-anak yang menyenangkan. Tetapi, hal-hal yang paling ia sedihkan adalah teman-temannya.
"Sekarang aku ngerasa temenku makin dikit ya?"
Saya menghembuskan napas panjang. Mencoba membaca arah pembicaraan teman saya ini.
"Kalau dipikir-pikir, semakin kita dewasa semakin dikit teman kita. Emang bener kata-kata motivator itu, semakin dewasa teman-teman kita akan sibuk dengan urusan masing-masing."
Saya masih mendengarkan kalimat yang saya taksir adalah keluhan hidup teman saya itu.
"Sekarang aku keluar dan bertemu dengan orang itu-itu saja. Ya sama kamu, ya sama Ukhti, ya sama Nada. Eh, tapi kadang juga sama temen yang lain, sih. Kalau begini kan aku jadi bingung bikin undangan pernikahan. Kamu juga merasa bingung kayak gitu enggak, sih? Mau ngundang temen SD tapi kok udah lupa. Mau ngundang temen SMP dan SMA, enggak semua kontaknya aku punya. Mau ngundang temen kuliah, tapi kok kayaknya enggak deket semua."
"Ngundang ya ngundang aja. Enggak usah dipikir terlalu dalam. Undang yang kamu kenal dan kamu ingat."
"Lha, nanti kalau ada yang aku lupa tapi dia ingat aku gimana? Terus temenku ini enggak terima gara-gara aku lupa sama dia dan enggak aku undang gimana?"
Saya jadi teringat dengan cerita saya dengan teman sekolah menengah atas dan teman kuliah saya dulu. Waktu itu sangat akrab dan mengecap sebuah hubungan pertemanan kami sebagai sahabat. Kami sering keluar bareng, mengerjakan tugas bareng, belajar kelompok selalu bersama pula. Tidak jarang kami bermain sebagai cara untuk me-refresh ulang pikiran dan tubuh kami dengan mengunjungi tempat wisata hanya bertiga saja. Kadang juga berdua.
Karena saking seringnya kami melakukan hal-hal secara bersama, kami juga akhirnya memiliki kegelisahan yang sama, yakni, jika lulus kelak dan sudah berkeluarga, kami jarang bertemu. Mungkin saja jarang bertegur sapa di whatsapp karena saking sibuknya.
"Kita tetep sahabat ya sampai tua nanti, dan tetep ketemu ya. Jangan lupain aku," harap salah satu sahabat saya sambil berkaca-kaca.
Saya mengangguk. Setuju.
Tetapi, semakin dewasa, memang apa yang diucapkan sebagai harapan 'tetap menjadi sahabat sampai tua dan tetap bertemu' itu bukanlah perkara mudah. Pertama, kami berasal dari kota yang berbeda. Kedua, ketika menikah, belum tentu kami akan bertempat tinggal di satu komplek yang sama. Pada akhirnya, kami tetap berpencar, mengejar impian masing-masing, sibuk dengan urusan masing-masing, dan mengurusi keluarga masing-masing.
Saya mendekati teman saya yang mulai menunduk. Pandangannya menampakkan kesedihan yang cukup dalam. Ia masih khawatir dengan kelupaannya terhadap teman-temannya di masa sekolah.
"Kalau kamu terlalu berpikir tentang hal-hal seperti itu. Kamu seolah tidak menghargai pertemananmu yang sekarang. Syukuri saja. Kalau lupa, namanya juga manusia. Memang kamu yakin betul kalau semua teman yang kamu ingat juga mengingatmu?"
*nama yang disebut sudah disamarkan
Komentar
Posting Komentar