Seperti Tusukan Duri Mawar

 Langit masih gelap. Bulan dan bintang bersembunyi di balik awan mendung. Hujan tak kunjung datang.

Malam ini udara terasa pengap. Air keringat menguap ke langit. Kipas angin kunyalakan sedari tadi. Tidurku menjadi tidak nyenyak. Tidak seperti biasanya, malam terasa berjalan lambat dengan segala kepengapan yang sama dengan hatiku.

Ujian nasional segera tiba. Ujian yang kurasa aneh dan tidak adil saja bagiku. Bagaimana bisa sebuah kelulusan ditentukan dalam tiga hari ujian. Lantas, ujian yang lalu-lalu bagaimana? Ah ini hanyalah gerutuan anak sekolah yang masih labil kurasa.

Malam ini waktu berjalan begitu lambat. Ataukah kegelisahanku yang membuatnya nampak lambat seperti bekicot. Esok aku akan menghadapi ujian nasional. Hanya tiga hari saja rasa gelisah ini akan menghampiri. Benarkah begitu atau hanya dugaanku saja?

Tapi, ada yang aneh dalam gelisahku ini. Gelisah yang bertumpuk-tumpuk. Gelisah yang tidak hanya pada satu kejadian saja. Ada gelisah yang menjadi bayang-bayang dibelakang kegelisahanku yang paling utama.

***

Matahari telah menyapa dengan sempurna. Pensil sudah kutajamkan. Segala peralatan untuk ujian sudah kupersiapkan dengan baik. Aku menunggu pengawas yang berasal dari sekolah lain membagikan soal dan lembar jawaban.

Hari pertama, kedua, dan ketika ujian nasional telah tuntas. Gelisahku belum juga usai. Aku memutuskan untuk memberi kabar kepada Indra yang dua minggu terakhir tak kusapa.

Aku mengiriminya pesan singkat. Tentang gelisahku yang tak kunjung hilang. Gelisah yang tinggal dalam tubuh, pikiran, dan hatiku yang tak kunjung pulang. Bersarang dengan begitu nikmat hingga membuatku gila.

Mungkin itu rasa gugupmu karena ujian nasional. Begitu balas Indra.

Ada sesuatu yang aneh ketika kubaca pesan balasan Indra. Seolah tulisan itu memberiku pertanda akan datangnya hal buruk. Seperti sekelompok hewan yang meninggalkan rumahnya sebab mereka merasakan ada yang tidak beres pada perut bumi. Pertanda bahwa gempa akan menimpa rumah kawanan hewan itu.

Satu bulan berlalu, dua bulan, tiga bulan. Gelisah yang bersarang ditubuhku hilang timbul. Macam botol kaca yang mengapung di lautan. Kadang ia tenggelam lalu timbul kembali. Aku ingin segera mengakhiri segala gelisah ini.

Kuputuskan mendatangi Indra tanpa pemberitahuan. Memberinya kejutan pertemuan setelah sekian lama tak bersua. Hanya mampu membaca pesan singkat sebagai tebusan rasa rindu yang kian menumpuk.

Aku tersenyum-senyum membayangkan ekspresi Indra yang begitu lucu ketika terkejut. Aku tak sabar melihat raut mukanya. Aroma parfum yang selalu melekat pada sweter biru kesukaannya. Ceritanya yang selalu membiusku. Dan candaan juga wejangan ala-alanya.

Selama perjalanan dalam kereta api ini perasaanku membuncah. Bahagia, gugup, dan gelisah menjadi satu. Aku mencoba mengabaikan segala gelisah yang telah bersarang lama di benak. Gelisah yang sedang ingin kubuang jauh-jauh. Memangnya siapa yang menginginkan sebuah kejadian buruk akan menimpa dirinya.

Aku menumpang ojek pengkolan sesampainya di stasiun. Menuju kos Indra yang tak begitu jauh dari lokasi. Jalanan kota lancar. Dunia sedang mendukungku memberi Indra kejutan akan kedatangan diriku.

Kuketuk pintu kosnya. Tak ada jawaban. Kuintip dari jendela kosnya. Nampak tak ada tanda kehidupan di dalam.

Mungkin dia lagi ada perlu di luar, batinku. Kuputuskan menuju kedai makan favorit kami di kota.

Kali ini aku menggunakan jasa pengayuh pedal roda tiga. Jalanan tidak begitu macet. Tidak seperti akhir pekan biasanya, yang terasa sangat macet sebab banyak keluarga yang mulai berlibur atau muda-mudi yang berkencan.

***

Awan gelap bergulung diatasku. Udara pengap kembali menyusupi pori-pori kulit dan menembus arteri. Gelisah yang menjadi bayang-bayang kini menjadi jelas. Gelisah yang selama ini bersarang dalam diriku telah memberi jawaban. Bukan dugaan lagi.

Indra duduk berdua di meja yang biasanya kami duduki jika ke kedai ini. Ia tengah mengusap punggung tangan seorang perempuan yang tampak lebih tua dariku. Ia memegang tangan perempuan itu dengan mesra. Seperti saat ia memegang tanganku. Sesekali Indra membenahi anak rambut perempuan dihadapannya.

Mataku memerah, hatiku pula. Dengan langkah gemetar, aku memberanikan diri untuk menghampiri mereka berdua. Langkah kakiku ternyata hanya mampu sampai di belakang si perempuan. Kakiku terasa lemah dan berat untuk melangkah lebih dekat lagi. Sekarang, aku hanya mampu menunggu Indra menyadari kehadiranku dengan air mata yang hampir jatuh.

Aku tak lagi kuat berdiri. Aku segera berbalik badan ketika Indra akhirnya menyadari diriku yang berdiri membeku. Lantas ia mengejar dan meraih tanganku. Tangan yang selama ini menguatkan ketika kami sedang duduk berdua kini berubah seperti tusukan duri mawar.

"Kamu kok tiba-tiba ada di sini?"

Air mata di sudut sudah jatuh. Satu tetes, dua tetes, tiga tetes. Ada rasa yang bergejolak di dalam dada. Sebuah insting perempuan yang mengatakan bahwa ia tak lagi baik untukmu. Ia telah melukaimu, menghianati kepercayaan, dan selama ini telah berbohong.

Hatiku terasa sangat hancur. Rontok dari tempat seharusnya. Berkeping-keping. Seolah dokter bedah mengambil organ dalam tanpa bius. Rasa yang begitu sakitnya sampai membuatmu ingin mati saja alih-alih tetap bertahan untuk menikmati hidup. Itulah yang sedang kurasakan saat ini. Detik ini.

"Bukankah kita udah janji tetap jaga hati masing-masing?"

"Aku ternyata enggak bisa kalau harus LDR terlalu lama. Lagian kamu juga sibuk dengan ujian nasionalmu kan?!"

Baru kali ini Indra membentakku.

"Kamu harusnya bisa ngerti aku!"

"Oke. Maaf udah ganggu kencan kalian."

Aku membalikkan badan menuju pintu keluar. Indra tak mengejarku lagi. Ia terdiam pada posisi berdirinya dan melihatku yang melangkah menjauhinya.

Pada ambang pintu kedai, aku berbalik, menghampiri Indra yang masih berdiri. Dengan nada kesal dan geram kuucapkan sebuah kata perpisahan. "Aku tak menuntut karma datang padamu sekarang. Mungkin suatu saat nanti, tapi entah kapan. Aku tak menuntutnya untuk terburu-buru."

***

Aku memesan tiket kereta yang menuju stasiun kota tempat tinggalku begitu usai memergoki Indra bersama perempuan lain. Kereta yang kupesan berangkat tiga jam lagi. Aku berkeliaran di area stasiun sambil menunggu jam keberangkatan.

Udara kembali pengap. Sangat menyesakkan dada. Lagi lagi waktu berjalan begitu lambat. Atau waktu yang berjalan lambat ini hanya berlaku untuk orang-orang yang menunggu saja? Kurasa memang begitu.

Dalam kereta ini aku mencoba meninggalkan segala rasa rapuh itu di jalanan luar. Kuharap segala kehancuran itu bisa kutinggalkan pada rel agar dilindas oleh roda-roda yang melintasinya lantas membunuhnya.

Mataku masih sembab. Ah, sungguh aku membenci perasaan ini. Perasaan hancur berkeping-keping dari seorang yang sedang patah hatinya. Rasa di dada yang rontok berguguran berceceran. Jika saja digambarkan, mungkin ini serupa kucuran darah dari seseorang yang ditembak pada bagian dadanya. Berjalan tertatih-tatih menuju rumah sakit untuk mengobati lukanya. Tapi sayangnya, ia tak tahu rumah sakit mana yang mampu mengobari luka mengaga yang masih tertancap peluru di dalamnya.

Selayaknya seseorang yang kehabisan darah, otaknya tak mampu berjalan 100%. Sering tak sadarkan diri. Lebih pada keadaan koma berkepanjangan. Pikirannya melayang-layang entah kemana. Fragmen romansa berdua berkelebatan, seperti menonton drama korea favorit yang penuh dengan keromantisan yang membuat siapapun yang menontonnya ikut cemburu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jatuh Cinta yang Polos

Latihan Menulis untuk Berbagai Kebutuhan

Barang Berharga