Mahkluk Lain

 Belakang rumah mak Siti ditumbuhi tanaman-tanaman menjalar. Binahong dan suruh merah ikut menjalari sebuah bidang yang dibuat mak Siti untuk jalur tumbuh daun-daun itu. Mak Siti juga memanfaatkan sebagian lahan di belakang rumahnya untuk ditanami singkong, bayam, kangkung. Ada pula pohon jambu biji, sirsak, mangga, dan pepaya. Sebuah pohon besar menjulang tinggi pada sisi paling ujung kebon, pohon belimbing wuluh.

Seringnya mak Siti memasak makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan di belakang rumahnya. Aku kadang kala menemani mak Siti jika akhir pekan tiba. Sangat menyenangkan berbincang dengan mak Siti, yang kadang kala omongannya harus kucerna lebih dalam lagi. Banyak pesan tersirat yang baru kusadari setelah beberapa hari mengobrol dengan mak Siti.

Minggu pagi ini aku menemani mak Siti dan ikut membantunya memasak sayur dengan bahan utama daun pepaya. Aku mengiris-iris bwang merah dan bawah putih, lantas beberapa batang kunyit yang ditumbuk halus. Serai juga tersedia di belakang rumah mak Siti. Jadi tinggal mencabut tanaman yang konon kaya antioksidan itu.

Mak Siti masih mempertahankan cara memasak di atas tungku ketika seluruh ibu-ibu di desa memasak menggunakan kompor.

"MAAAK!"

Aku terlonjak ketika seekor binatang yang meliuk-liuk di pojok dapur.

"Kenapa, nduk? Bikin kaget saja."

"Itu apa, mak?" Aku menunjuk pojok dapur. Hewan itu masih meliuk-liuk. Seolah sedang mencari posisi nyaman untuk tubuhnya.

Mak Siti mendekat kepada hewan yang kutunjuk. Aku bersiap berlari. Hewan itu masih menggeliatkan tubuhnya dengan tenang. Seolah mak Siti bukanlah ancaman untuknya.

"Kamu takut sama ular itu, nduk?"

Aku mendelik. Pertanyaan mak Siti membuatku tercekat. Siapa yang tidak takut dengan hewan melata itu. Apalagi ukurannya besar. Aku membayangkan bagaimana ular itu bisa melilit tubuhku kapanpun, apalagi ketika aku terlelap. Tapi mak Siti tidak menunjukkan ketidaktakutan itu sama sekali.

Mak Siti kini berada di hadapan ular warna cokelat dengan totol-totol kehijauan. Ia bahkan mengusap bagian tubuh melata itu. Seolah mereka adalah teman yang sudah kenal sejak lama.

"Maaak!" Aku menarik mak Siti.

"Yasudah kalau kamu takut. Biar mak suruh pergi ularnya."

Mak Siti mendekati ular itu lagi. Jika saja mak Siti adalah aku, mungkin kudekati melata itu untuk kubunuh dengan kayu bakar yang sudah tersedia di pinggir tungku.

"Kamu pergi dulu. Kasihan cucuku ini. Dia ketakutan. Husshh, sana!"

Ular itu kembali menggeliat. Meliuk-liuk. Melewati pintu belakang bagian dapur yang langsung menuju kebun belakang rumah mak Siti.

Aku masih merasa syok. Antara takut, merinding, dan ngeri.

"Kenapa mak Siti tidak membunuhnya saja? Nanti kalau tiba-tiba masuk rumah pas emak masih tidur gimana, mak?" Napasku menderu.

"Ular itu juga makhluknya Gusti Pangeran, nduk."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Investasi Ilmu, Emang Ada?

Tiga Poin Terakhir dalam Journal Activities

Indscript Creative dalam Sosial Media