Couples

 Sore ini aku memutuskan untuk menghibur diri ke mall. Hanya untuk bersenang-senang sejenak sembari menikmati pemandangan yang menyegarkan mata. Orang-orang menyebutnya dengan cuci mata.

Terkadang aku merasa tergelitik ketika mendengar istilah-istilah macam begitu. Cuci mata, aku jadi membayangkan mata manusia-manusia itu berbusa. Mengerikan.

Aku berdiri bersandar tangan pada besi pelindung bagian tepi bangunan di lantai dua. Pada area ini, menurutku sangat pas untuk menikmati hiruk hilir manusia yang sibuk menghabiskan uang gaji yang telah ditabung beberapa bulan.

Tulisan disc. 70% terpampang jelas dan besar pada sebuah x-banner di depan toko. Ada pula yang menuliskan up to 90%. Latar mencolok seperti warna merah memang sering digunakan para marketer untuk menarik mata memandang dan tergiur pada diskon yang diberikan oleh gerai.

Di atas sini aku memandangi sekitar. Manusia-manusia di bawah sana. Ada yang asyik bermain ponsel karena gerainya sepi. Ada yang mengaca dan menjajal kacamata di gerai optik, ada yang nampak meminta pendapat teman belanjanya ketika ia memilih dan memilih pakaian yang hendak dibeli. Beginilah caraku membunuh sunyi. Menikmati segala aktivitas manusia. Dan kali ini aku memilih untuk menikmatinya di mall.

"Kamu ngapain?"

"Ngeliat orang-orang."

Indra berdiri di sampingku usai kerja ringan membuang urine. Kami sama-sama memandang lantai satu. Mataku melihat ke arah sepasang dengan batik couple di bawah sana. Indra entah memandang ke mana, kami konsentrasi pada pandangan masing-masing.

"Nanti kita cerita tentang apa yang kita temukan. Oke." Usulnya.

Aku mengangguk setuju.

Tawa riang mengiringi sepasang dengan batik couple itu. Mereka begitu dempet, seperti botol dan tutupnya yang masih tersegel. Jika dilihat dari wajahnya, mereka adalah pasangan muda. Kupandangi mereka terus-menerus. Bukan karena jijik, tapi ikut senang ketika melihat sepasang yang sanggup tertawa bahak di tengah keramaian mall.

Aku berpikir mungkin mereka sehabis dari sebuah acara lalu mampir ke mall. Atau mungkin sebaliknya, mereka akan menghadiri acara di mall. Aku berganti memandang pada lantai dasar. Karpet merah berbentuk persegi digelar. Pada salah satu sisi di ujung bagian kanan terdapat panggung dengan latar belakang putih tulang. Ada aksen ukiran batik yang terbuat dari semen putih lalu di cat warna ungu.

Ukiran itu membuatku semakin yakin jika sepasang dengan batik couple tadi akan menghadiri acara itu.

"Kamu sudah selesai melihat-lihat manusia di bawah situ?" tanyaku.

"Hmm.. sudah, tapi tidak ada yang menarik." Indra sudah membalik badan sedari tadi.

"Oke. Kalau begitu kita lanjut ke food court? Aku sudah lapar."

Kami berjalan beriringan menuju lantai empat. Aku menuju stan minuman dengan judul air mata kucing. Lagi lagi aku menemukan kata-kata yang membuatku tergelitik. Indra menuju stan chicken steak.

Seusai memberikan uang receh pada mbak-mbak yang bertugas menjual minuman, sebab ia meminta uang pas, aku segera mencari meja kosong yang lengkap dengan kursinya yang cukup untuk berdua.

Indra masih mengantre. Aku duduk dengan santai. Seorang ibu-ibu dengan bayi yang masih digendongan duduk di seberang meja tempatku duduk.

Indra membawa sebuah papan nomor. Duduk di hadapanku. Tak lama kemudian, datanglah sepasang kekasih yang sudah menikah. Kulihat cicin polos melingkar pada jari manis masing-masing.

"Oke, sekarang waktunya cerita."

Aku menceritakan bagianku. Indra tertawa. "Kamu masih suka menduga-duga."

"Begitulah perempuan. Enggak, mungkin cuma aku yang suka begitu. Sekarang giliranmu."

"Aku enggak menemukan hal yang menarik di bawah sana."

"Curang."

"Sabar. Tapi aku menemukan sesuatu yang menarik ketika membalik badan."

Aku mendengarkan dengan serius. Indra lebih pintar dalam bercerita. Setidaknya menurutku begitu.

"Aku melihat sepasang kekasih. Mereka sudah sepuh. Tapi masih romantis saja. Yang perempuan menggandeng tangan yang laki-laki. Sedangkan yang laki-laki jalannya pelan sekali dan menggunakan tongkat di tangan kirinya."

Aku semakin penasaran dengan ceritanya.

"Menurutku yang perempuan ini sabar sekali. Ia sering bergumam 'pelan-pelan' sambil menuntun yang laki-laki. Seolah sedang momong seorang anak kecil. Mereka berjalan menuju eskalator. Mereka berhenti sesaat sebelum melangkahkan kaki di tangga berjalan itu."

"Terus?"

"Terus, yang laki-laki dengan langkah kecil-kecil menapaki tangga eskalator. Yang perempuan masih menggandeng tangan yang laki-laki. Menuntun. Genggaman mereka terlihat erat, kuat, dan kokoh ketika di tangga eskalator."

Indra memandangku sembari berpikir sejenak.

"Kalau nanti aku sudah tua, seperti couple tadi. Dan ternyata aku juga pikun, terus jalanku enggak segesit sekarang, kamu masih mau kan nemenin aku?"

Sepasang kekasih di samping kami menoleh mendengar pertanyaan Indra yang dilemparkan padaku.

"Kalau itu ditanyakan ke aku, mas. Aku berharap kita udah meninggal duluan sebelum itu terjadi." sambar laki-laki di sebelah kami.

Makanan pesanan Indra datang begitu laki-laki di samping kami menyelesaikan kalimatnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Investasi Ilmu, Emang Ada?

Tiga Poin Terakhir dalam Journal Activities

Indscript Creative dalam Sosial Media