Hijrah Boleh Saja, asal Jangan Berlebihan

 Pada tahun 2014 silam, kata hijrah menjadi sesuatu yang viral. Utamanya pada kalangan perempuan yang akhirnya berlomba-lomba untuk mengenakan hijab dengan ukuran jumbo.

Kata hijrah pada zaman Nabi Muhammad saw. memberikan arti perpindahan tempat dari Mekkah ke Madinah. Namun hijrah juga memiliki makna merubah sikap, sifat, dari buruk menjadi baik. Tentu saja, sikap baik dan buruk itu tidak lepas dari penilaian diri.

Ketika saya memasuki dunia perkuliahan, kata hijrah marak di telinga. Lalu banyak sekali informasi mengenai ngaji yang tujuannya agar perempuan berhijrah. Ceramah mengenai menutup aurat mencuit di media sosial. Mulai dari yutup, ig, fb, dan banyak ustaz yang menggelar kajian mengenai keperempuanan.

Sasaran utama dari kajian dan ceramah yang digelar oleh para ustaz ini adalah mahasiswi. Pikiran segar, semangat belajar, rasa penasaran yang tinggi, dan tentu saja perasaan yang sering digunakan daripada logika adalah target yang tepat untuk mendapat ilmu tentang hijrah.

Apalagi perempuan lebih rentan mengalami depresi daripada laki-laki. Perempuan menjadi mudah untuk dijejali ilmu hijrah dan spiritual lainnya. Biar tulisan saya tidak terkesan serampangan, saya akan menuliskan faktor yang memengaruhi perempuan lebih rentan mengalami depresi.

Berdasarkan tinjauan dari dr. Merry Dame Cristy Pane, ada tiga faktor yang memengaruhi perempuan mengalani depresi. Pertama adalah faktor biologis yang dipengaruhi oleh hormon yang menyebabkan suasana hati sering berubah-ubah. Kedua, faktor psikologi dari ragam fase kehidupan perempuan, mulai dari pendidikan, karir, menikah, melahirkan, mendidik anak, menapouse, dan seterusnya. Faktor yang terakhir adalah faktor sosial-budaya. Kamu pasti sudah tidak asing dengan penilaian masyarakat mengenai perempuan kan?

Nah, salah satu faktor terbesar yang sering saya temui mengapa perempuan mulai banyak yang berhijrah adalah tentang pernikahan alias jodoh. Banyak perempuan yang mengidam-idamkan mendapatkan jodoh yang soleh, dan tentu bisa menjadi imam yang baik dan membawa keluarga menuju surga abadi.

Tentu hal yang diidam-idamkan oleh perempuan itu tidak sepenuhnya salah. Malah bagus, sebab mereka mengetahui apa yang mereka ingin. Dari mengetahui apa yang diinginkan itu, mereka akan memperbaiki diri. Yang disebut dengan hijrah.

Hijrah bukanlah hal yang salah, itu baik, asal tidak berlebih saja. Dan perlu digaris bawahi, di-bold, dan italic bahwa dalam menerima ilmu harus dicerna dan dikritisi lebih dulu. Tidak dimakan bulat-bulat, sebab ilmu tentang agama bukan tahu bulat yang digoreng dadakan.

Salah satu teman saya, yang juga mahasiswi, tapi beda kampus, suatu kali mengajak saya untuk mengikuti kajian di kampusnya. Saya mengiyakan sebab kajian tentang agama pasti baik bukan?

Kami sepakat untuk berangkat bersama. Ada beberapa hal yang membuat saya aneh ketika memasuki area duduk perempuan. Untuk saya yang kala itu belum bertemu dengan banyak orang yang mengenakan hijab jumbo, merasa aneh. Saya tidak mengatakan bahwa itu buruk, apa yang mereka kenakan semua baik sebab alasannya juga baik dan sesuai anjuran agama, menutup aurat.

Setelah melihat sekeliling, saya baru menyadari bahwa teman saya sebenarnya juga mengenakan hijab jumbo, tapi tidak seekstrem yang lain yang juga menggunakan niqob atau cadar.

Tidak lama kemudian, sang ustaz yang ditunggu muncul dan memberi ceramah. Ada sesuatu yang janggal dalam ceramah ustaz ini. Dan itu membuat saya tidak nyaman.

Ia berujar bahwa perempuan sepantasnya menutup aurat dan hanya menunjukkannya kepada suami. Lalu diikuti dengan dalil dosa-dosa dan hukuman yang mengerikan jika perempuan tidak menjaga auratnya. Lalu ia melanjutkan, hendaknya perempuan itu bersikap seperti ummu Salamah, Khadijah, Zulaikha, Aisyah, yang mana perempuan-perempuan itu adalah istri yang patuh terhadap suami.

"Masya Allah, Astaghfirullah," adalah kata yang sering keluar dari mulut jemaah perempuan. Bahkan beberapa dari mereka ada yang meneteskan air mata juga.

Ceramah berlanjut pada pembahasan bahwa perempuan haram untuk keluar rumah tanpa seizin suami. Kalau ini saya setuju, tapi yang membuat saya lagi lagi tidak setuju adalah ketika kalimat itu dilanjutkan dengan jika perempuan setuju kalau suami ingin menikah lagi, maka balasannya adalah surga abadi. Perempuan sebagai istri seharusnya tunduk pada suami, dan selalu menyenangkan hati suami, tetapi jika hal itu tidak dapat dilakukan, maka suami memiliki hak untuk meninggalkan istri.

Saya tetap mendengarkan yang disampaikan sang ustaz sampai ceramahnya selesai. Ketika sang ustaz menutup ceramah, saya buru-buru keluar. Tidak ikut doa.

"Kamu kenapa tiba-tiba keluar? Enggak ikut doa?" tanya teman ketika kami meninggalkan area kampus.

"Aku sebenarnya enggak suka dengan isi ceramahnya."

"Kenapa?"

"Seolah perempuan itu barang hina. Sampah."

"lho, kok kamu bisa mikir gitu?"

"Begini, tadi ustaz itu menganjurkan agar perempuan memiliki sifat seperti Khadijjah, Ummu Salamah, Zulaikha, Aisyah. Aku setuju sebab beliau-beliau adalah tokoh yang baik untuk golongan perempuan. Tapi ketika ustaz itu bilang kalau istri memperbolehkan suami menikah lagi, terus kalau istri tidak bisa menyenangkan suami, suami berhak meninggalkan istri, aku tidak sepenuhnya setuju.

Seharusnya, ketika ustaz itu menganjurkan perempuan meneladani dan memiliki sifat-sifat seperti beliau-beliau (tokoh perempuan yang disebutkan tadi), bukankah itu artinya para laki-laki juga harus meneladani sifat para suaminya? Tapi kenapa tadi tidak disebutkan begitu?"


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Investasi Ilmu, Emang Ada?

Tiga Poin Terakhir dalam Journal Activities

Indscript Creative dalam Sosial Media