Perempuan Itu Bernama Mak Siti

 Ayah memilih rumah di pedesaan daripada di kota. Ia ingin membunuh kekejian dan emosional kota ketika usai dari kantor. Ayah rela menempuh perjalanan sedikit lebih lama untuk sampai di kantor dan sebaliknya demi tinggal di desa ini. Teman ayah yang juga membantuku mencarikan sekolah baru yang memberikan rekomendasi tempat tinggal di sini.

Awalnya aku menggerutu. Sebab segala fasilitas cukup jauh jaraknya dari desa tempat tinggal kami. Seperti transportasi umum, toko sepatu, toko pakaian, dan tempat perbelanjaan. Tetapi yang aku sukai juga, hidup di pedesaan ini jauh dari kebisingan dan emosional kemacetan jalanan.

"Kita bisa menghirup udara bersih di sini. Jauh dari jalan raya, dan tenang dari suara bising kendaraan. Iya kan?"

Aku menyetujui ibu dan mencoba berpikir sepositif mungkin. Pasti ada hal-hal yang menakjubkan yang tidak aku temui di rumah lama.

Sebulan berlalu dengan cepat. Aku masih berhubungan dengan Indra. Kami sering melakukan vc dan selalu memberi kabar masing-masing. Kami memilih 'tetap bertahan' ketika banyak orang menghindarinya.

Teman-teman di sekolah baik. Hampir mayoritas dari mereka bertempat tinggal di desa yang sama denganku. Dan kebanyakan dari teman perempuan di sekolah mengenakan jilbab. Aku yang tidak mengenakan jilbab sering dikira bukan muslim. Tapi tak apa, yang penting aku masih mendirikan shalat.

Ibu bertetangga dengan baik dengan penduduk desa. Aku bersyukur, orang-orang di desa ini ramah. Meskipun tetap ada satu dua ibu-ibu yang menjengkelkan omongannya. Dan tabiat itu menular pada anak-anaknya.

Sebulan ini ibu sering ramah tamah dengan para tetangga. Membagikan kue buatan rumah kepada tetangga sebagai bentuk perkenalan atas penduduk baru. Ibu sering mengajakku membagikan kue itu dan memperkenalkan diriku pada tetangga. Sampai akhirnya kami mengunjungi sebuah rumah reyot yang dindingnya terbuat dari gedek. Rumah itu bertembok anyaman bambu di saat rumah-rumah yang lain bertembok batu-bata.

"Assalamu'alaikum." Salam ibu sambil mengetuk pintu kayu sebagai pintu rumah.

Seorang perempuan berumur 40-an muncul. "Wa'alaikum salam. Siapa ini, nduk?"

"Saya Bu Ayu, Buk. Penduduk baru di desa ini. Baru sebulan. Ini ada kue buatan saya untuk Ibu."

"Oh, iya, iya. Panggil saja saya Mak Siti. Orang-orang desa biasa manggil saya begitu. Masuk masuk."

Mak siti mengenakan daster lengan panjang. Lantai rumhanya masih berupa tanah. Bukan plester, aroma rumahnya khas kayu bambu yang lembab. Entah mengapa, sesuatu telah menyusupi ruang-ruang hatiku ketika aku memasuki rumah reyot yang tak layak huni di zaman sekarang.

Tentram dan tenang adalah suasana di rumah reyot milik mak Siti.

"Rumah, mak, ya hanya begini. Ini piringnya mak langsung cuci saja ya."

"Tidak perlu di cuci, mak. Nanti saya cuci di rumah."

Aku dan ibu menunggu pada karpet anyaman yang digelar. Aku melihat sekililing rumahnya. Panci-panci dengan pantat gosong menggantung pada sisi gedek pemisah dapur. Sebuah kelambu warna merah menjadi penutup sebuah ruangan di dalamnya.

Mak siti menyerahkan piring yang digunakan wadah kue oleh ibu ketika aku masih menikmati sekeliling rumah mak Siti.

"Kalau longgar, main saja ke sini, nduk," ucap Mak Siti seolah mengerti rasa penasaranku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Investasi Ilmu, Emang Ada?

Tiga Poin Terakhir dalam Journal Activities

Indscript Creative dalam Sosial Media