Manusia Ramah

 Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia terkenal dengan keramahan para penduduknya. Mulai dari tutur kata, senyum yang dilemparkan bahkan kepada orang yang tidak dikenal, dan mengajak ngobrol basa-basi pada teman seperjalanan dalam transportasi umum.

Ngomongin soal transportasi umum, saya sangat beruntung bertemu teman duduk yang ramah. Ya meskipun sekali dua kali juga pernah bertemu dengan yang sangat pendiam dan tidak acuh. Jadi, saya bercerita yang baik-baik saja. Para manusia ramah yang menjelma sebagai teman duduk ketika di bis.

Pagi itu saya hendak pulang kampung. Saya sengaja memilih waktu di pagi hari sebab berpikir bahwa penumpangnya mungkin sedikit. Jadi tidak perlu berdesak-desakan. Ketika sampai di terminal, semua imajinasi dan harapan saya pupus sudah. Ternyata penumpang yang menggunakan moda transportasi bus dengan jurusan yang sama dengan banyak tidaklah sedikit.

Melihat kerumunan manusia seperti semut yang sedang berebut gula membuat saya sedikit mual. Ingin kembali ke kos, tapi sudah janji dengan orang rumah kalau hari ini pulang. Akhirnya, saya memutuskan untuk bertahan dan ikut menunggu bus jurusan ke kampung saya dengan manusia-manusia itu.

"Adek juga turun di kota (menyebut nama kota)?"

Seorang mbak-mbak yang saya taksir masih berusia 20-an tiba-tiba menanyai saya.

"Iya, mbak. Mbak nya juga?"

"Iya. Wah, liburan idul adha ternyata ramai juga ya. Saya kira tadi tidak akan seramai ini."

"Saya juga berpikir begitu, mbak. Kalau ramai begini, kemungkinan dapat tempat duduk sedikit sekali." Saya sedih.

"Nanti kalau begini bagaimana? Kalau kamu bisa masuk duluan, tolong sampingnya aku ya. Dan kalau aku yang masuk duluan, sampingku untuk kamu."

Ya begitulah keramahan manusia yang saya temui kala itu. Kita baru saja bertemu dan sudah menjalin kerjasama.

Bis jurusan ke kampung saya akhirnya datang juga. Saya mengangguk kepada si mbak yang mengajak ngobrol tadi dan segera meluncur pada sela-sela orang yang akan memasuki bis. Beruntung tubuh saya mungil, jadi ya mudah saja kalau harus menerobos lautan manusia.

Saya lega ketika mendapat tempat duduk dua baris. Dan sesekali mengucapkan maaf kepada siapa saja yang akan duduk di sebelah saya.

"Maaf, mas. Ini udah ada yang orangnya," kata saya sambil menunjuk kursi samping saya.

Saya melambai ketika melihat wajah yang tadi mengajak kerjasama. Dan disinilah kami, duduk berdua. Lalu kami lanjut mengobrol. Si mbak menyebut namanya, saya juga menyebut nama. Si mbak menyodorkan jajanan yang ia bawa dalam kantong plastik sebagai camilan selama empat jam perjalanan.

Keramahan ini tidak hanya berhenti sebatas pada obrolan belaka. Ternyata si mbak telah memiliki niat sedari awal akan membayar ongkos transportasi untuk saya.

"Sudah, uangmu simpan saja. Nanti kalau sudah kerja, sudah ada uang sendiri, kalau ketemu saya lagi, ganti kamu yang bayarin."

Dan sampai sekarang kami belum pernah bertemu lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Investasi Ilmu, Emang Ada?

Tiga Poin Terakhir dalam Journal Activities

Indscript Creative dalam Sosial Media