Pindah Rumah

 Ayahku ditugaskan pada kantor cabang di kota lain. Ini artinya kami sekeluarga ikut pindah ke kota tempat Ayah bekerja. Promosi pimpinan perusahaan tempat Ayah bekerja diberikan sebab keuletan beliau dalam menuntaskan pekerjaan dengan baik.

Sebelum berangkat, aku memutuskan janji temu dengan Indra. Pamit. Aku bersyukur bertemu dengan Indra karena ia adalah laki-laki pengertian dan dewasa. Setidaknya itu menurutku. Mungkin karena kami selisih tiga tahun, jadi aku memandangnya seperti seorang dewasa yang menjaga adiknya.

"Aku minggu depan pindah rumah."

"Kenapa mendadak sekali?"

Aku diam. Kesibukan membereskan rumah untuk perpindahan menyita banyak waktu sampai tak sempat membahasanya bahkan hanya dalam chat.

Ketika membahas perpindahan rumah, aku telah menyiapkan hati dengan sungguh-sungguh. Banyak temanku yang memiliki hubungan jarak jauh berakhir dengan tragis. Hanya satu dua yang mampu bertahan sampai sekarang, tetapi itu pun salah satu dari mereka juga berkencan dengan orang lain.

Teman-temanku lebih memilih kata 'putus' daripada 'kita tetap bertahan' ketika salah satu dari pasangan akan pergi tinggal di luar kota, entah soal pekerjaan atau soal kuliah.

"Kamu sudah menemukan sekolah baru di sana?"

"Teman ayah sudah mencarikannya untukku."

Aku yang kala itu masih remaja, tak tahu apakah aku bisa bertahan atau tidak di sekolah baru nantinya.

"Aku juga sedih meninggalkan teman-teman SMA-ku. Aku sudah nyaman berteman dengan mereka. Aku juga belum tahu apakah aku bisa tahan sekolah di sana nanti."

"Aku tahu kamu pasti bisa." Indra memberi semangat.

Aku menanti kata putus dari Indra. Tapi ia tak mengucapkannya sampai minuman kami tandas dan sekarang saatnya untuk pulang.

Di tengah perjalanan pulang. Di atas sepeda motor milik Indra, pikiranku beradu pada pertanyaan-pertanyaan yang mungkin bagi sebagian orang adalah sepele. Aku memberanikan diri untuk bertanya.

"Kamu tidak ingin kita putus?" Suaraku bergetar gugup.

Jalanan yang ramai membuatku harus mengulang pertanyaan itu sebab Indra tak mendengarnya dengan jelas.

"Apa?!"

"Kamu tidak ingin kita putus?"

Indra diam. Matanya fokus pada jalanan yang macet. Tangannya memegang setir dengan kuat. Berusaha menembus kemacetan ibu kota. Klakson berdengung berkali-kali. Lampu merah terasa lebih lama daripada nyala lampu hijau.

Aku memegang pinggang Indra lebih erat. Mungkin ini adalah pegangan terakhirku kepadanya. Aku tak tahu apakah kelak kami akan bertemu lagi jika kami memilih kata 'kita tetap bertahan.' Atau apakah kelak ketika kami berada di jarak yang jauh itu akan berkencan buta dengan orang lain demi mengisi kerinduan bias. Sebagai pelarian. Aku tak tahu.

Hampir satu jam kami berada di atas motor beradu dengan jalanan penuh kendaraan bermesin. Saling mendahului dan mendesak-desak kendaraan lain dalam mengantre di perempatan lampu merah. Menerobos jalanan agar lebih dulu sampai pada tujuan masing-masing.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi."

Indra melepaskan helm yang kukenakan. Kami sudah sampai di depan rumah.

"Aku ingin bertahan denganmu." Indra membelai kepalaku seperti seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya.

"Kalau di tengah jalan pertahanan kita runtuh bagaimana?"

"Kalau itu terjadi, kita akan mengobrol lebih dulu."

Indra bersiap menstater motor supranya. "Oh, nanti kalau ternyata kamu bertemu dengan orang baru di sana. Jangan ragu untuk memberitahuku."

Indra pergi dengan senyum yang kelak selalu aku rindukan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Investasi Ilmu, Emang Ada?

Tiga Poin Terakhir dalam Journal Activities

Indscript Creative dalam Sosial Media