Kalau Merasa Sepi, Datanglah ke Rumah

 "Assalamu'alaikum!"

Suara Mak Siti terdengar sampai kamarku. Aku sengaja tidak beranjak. Tubuhku masih terasa sakit semua. Kakiku lemas untuk melangkah, bahkan untuk berdiri sekadar tubuhku saja kakiku tak mampu.

"Waalaikum salam. Mak Siti. Ada apa?"

"Ah, aku kangen sama anakmu. Di mana ia? Biasanya ke rumah, kok, sudah berminggu-minggu tidak ke rumah."

"Oh, dia lagi mempersiapkan tes masuk universitas, Mak. Nanti aku suruh untuk ke rumah Emak ya."

"Yasudah kalau begitu. Katakan emak tunggu di rumah ya, nduk. Oh iya, satu lagi-"

Ibu menutup pintu. Aku mendengar langkah ibu menuju kamarku. Satu, dua, tiga. Tepat setelah hitungan ketiga, ibu mengetuk pintu kamarku.

"Nak..."

Aku masih berada di atas kasur. Tubuhku telentang, tak berdaya. Mataku terpejam. Aku masih merasakan sakit luar biasa akibat patah hati. Sakit yang akhirnya menyerang fisikku pula. Kata orang, tak ada lagi gunanya menangisi yang telah lalu. Tapi nyatanya, aku tetap menangis sesekali ketika di kamar mandi.

"Ayolah, Nak. Kamu harus bangkit. Itu lho sampai dicariin Mak Siti."

Aku masih terdiam. Ibu mengusap rambutku. Usapan yang begitu menenangkan. Sayangnya hanya sebentar. Seperti kedipan mata. Ketika ibu tak mengusap rambutku, segala kesedihan menghampiri lagi. Aku benci diriku yang begini rapuh. Tapi, apa yang bisa aku lakukan untuk seorang yang sedang patah hatinya.

Sinar matahari pagi menghiasi kamarku. Cat tembok perpaduan biru langit dan merah muda menampakkan warnanya dengan begitu anggun. Kadang kala memberiku sedikit ketenangan. Warna-warna yang memang kuingin disaat-saat seperti ini.

Ibu akhirnya keluar kamar. Aku masih dalam diam. Entah mengapa, akhir-akhir ini aku merasa sangat kesepian. Sering menilik hape jikalau ada kabar gembira. Kabar yang sebenarnya adalah harapan kosong. Sesuatu yang tak mungkin terjadi. Aku seperti sedang menunggu sesuatu yang tak mungkin. Sial!

"Tadi Mak Siti juga berpesan. Kalau kamu kesepian, suruh ke rumahnya saja."

Mataku membelalak mendengar ucapan ibu. Aku baru saja ingat pesan Mak Siti setelah rumahnya selesai dibangun. Itu beberapa minggu yang lalu. Apakah mak Siti mengetahui bahwa aku akan putus dengan Indra?

Aku segera duduk. Tubuhku tiba-tiba terisi energi dengan penuh. Seperti daya hape yang sudah 100% terisi.

"Kamu ini ngagetin ibu saja."

"Beneran tadi Mak Siti bilang begitu, Buk?"

"I..iya."

Aku meloncat dari kasur. Menuju kamar mandi, membersihkan diri. Berpakaian seperti biasa, lantas menuju rumah mak Siti. Semangatku kembali melebur ketika aku telah berada di ambang pintu rumah Mak Siti. Mood naik-turun. Keadaan hati yang tidak menentu. Tiba-tiba saja potret Indra berkelebatan di hadapanku.

Aku menunduk. Hampir menangis sejadi-jadinya. Tubuhku terasa lemas. Aku berjongkok, tak kuasa menahan beban tubuhku sendiri. Satu tetes, dua tetes, tiga tetes. Air mataku jatuh dengan deras. Seperti air terjun yang bervolume tinggi. Jatuh ke tanah bebatuan di bawah tebing.

Mak Siti segera merangkulku. Menuntunku untuk berdiri dan duduk di kursi empuk ruang tamunya. Kursi yang dulu ia benci. Aku masih ingat betul. Ia tidak begitu suka dengan kursi empuk berwarna hijau itu. Seperti memperlihatkan bahwa rumahnya nampak mewah. Padahal menurut pandanganku, kursi itu biasa saja. Seperti pada rumah-rumah penduduk yang lain.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jatuh Cinta yang Polos

Latihan Menulis untuk Berbagai Kebutuhan

Barang Berharga