Laut Tak Perlu Garam
Mak Siti memelukku, tapi tak berkata-kata. Anehnya, sebuah rasa tenang dan lega menyelimuti hatiku. Hangat perlahan merayapi seluruh organ dalam tubuh. Seperti aliran darah yang membawa oksigen untuk seluruh organ dan bagian dalam tubuh dan sel-sel juga jaringan yang membentuk badan.
Rasa hangat itu menyebar. Aku tak lagi menggigil. Aku merasa hangat layaknya orang-orang di negara dengan lima musim yang duduk berlama-lama di depan perapian untuk menghangatkan tubuh ketika udara dingin menguasai yang disertai dengan hujan salju ketika menjelang natal.
Perlahan tangisanku berhenti. Aku menjadi lebih tenang dari sebelumnya. Semua rasa sepi yang kurasakan beberapa hari terakhir seolah sirna begitu saja hanyut ditelan ombak yang menggulung-gulung.
"Terima kasih, Mak."
"Mak, kan, sudah bilang. Kalau kamu merasa kesepian datanglah ke rumah."
Aku tersenyum getir. "Aku masih patah hati, Mak."
"Aku enggak nyangka aja, Mak, kalau Indra bakal melakukan itu."
Mak Siti mengusap rambutku. Segala rasa perih sirna begitu saja. Aku merasakan sebuah kenyamanan dalam telapak Mak Siti yang keriput. Seolah, Mak Siti telah memberikan sisa-sisa energinya kepadaku di masa tuanya.
Mak Siti masih mengusap rambutku. Jika ibu memberi rasa tenang ketika mengusap rambutku, maka Mak Siti memberi rasa nyaman dan lega. Seolah usapan tangan Mak Siti yang diberikan padaku adalah obat penenang dari segala gundah yang melanda.
"Aku merasa sangat hancur, Mak."
"Mau, Mak, kasih tau sesuatu?"
"Apa, Mak?"
"Ayo, ikut, Mak, kalau begitu!"
Mak Siti bangkit dari sofa hijau yang dibencinya itu. Ia melangkah dengan pelan-pelan menuju dapur. Jarik batiknya dan kebaya kuning yang dikenakan nampak serasa. Aku bahkan baru menyadari kalau Mak Siti hari ini mengenakan kebaya lengkap dengan jariknya.
Mak Siti lalu membelok ke pintu yang menuju kebon belakang rumah. Ia berhenti ketika berada di depan tanaman menjalar yang biasa dimasak sebagai botok. Tanaman sembukan.
Mak Siti melambaikan tangan, pertanda agar aku berada di sampingnya.
"Lihatlah, Nduk."
Aku melihat kebon belakang rumah Mak Siti yang luas. Aku tak merasa ada yang istimewa. Semuanya masih sama seperti ketika aku ketakutan melihat seekor ular yang melingkar di pojok dapur Mak Siti. Binahong, suruh merah, singkong, bayam, kangkung, pohon jambu biji, sirsak, mangga, pepaya. Sebuah pohon besar menjulang tinggi pada sisi paling ujung kebon, pohon belimbing wuluh. Hanya satu yang baru di sana, dan sepertinya baru aku sadari sekarang. Ada tambahan tanaman menjalar daun sembukan dan tanaman daun luntas yang tumbuh di antara bidang binahong dan suruh merah.
Aku masih menerka-nerka, apa yang sebenarnya ingin Mak Siti sampaikan padaku. Aku melihat kembali pada bagian tanah. Bersih, tak ada daun jatuh. Beberapa garis sapu lidi meninggalkan jejak di sana sebagai tanda bahwa tadi pagi kebon ini telah disapu oleh pemilik.
Kulihat lagi warna tanahnya yang tidak biasa. Biru kehijauan, tanah yang belum pernah kujumpai. Lalu ada beberapa batu warna-warni di bawah bidangan tempat binahong dan suruh merah menjulurkan tangkai-tangkainya.
Tiba-tiba kurasakan hembusan angin yang sedikit amis bau ikan, tetapi, juga menyegarkan. Burung-burung hinggap pada dahan belimbing wuluh dan mangga. Berkicau-kicau. Lalu terbang lagi. Angin segar semakin menyejukkanku. Aku memejam mata, menikmati embusan angin pagi kebon kelakang rumah Mak Siti.
Sebuah cipratan air mengenai wajahku. Kukira tai burung yang terbang di atas kebon Mak Siti. Segera kubuka mataku, dan aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Sebuah lautan membentang luas di sana. Tak ada burung yang beterbangan di dahan belimbing wuluh atau mangga, sebab segala tumbuhan di kebon Mak Siti lenyap digantikan dengan lautan yang luas. Deburan ombak mengisi suara di sekelilingku.
"Lemparlah ini ke sana."
Mak Siti memberiku segenggam garam. Aku melemparkannya pada samudra luas di hadapanku.
"Setelah kamu lempar garam itu, apakah laut ini akan menjadi lebih asin dari sebelumnya?"
"Tentu saja tidak, Mak."
"Itulah perbandingannya. Garam itu adalah rasa sedihmu, dan laut ini adalah bentuk kasih sayang Gusti Pangeran."
Aku diam menyimak kata-kata Mak Siti.
"Kamu sedih, hancur, dan merasa kesepian karena ditinggalkan Indra. Dihianati. Sedangkan kasih sayang Gusti Pangeran tidak pernah berubah, walau kamu telah menumpahkan rasa sedihmu di dalamnya. Kasih sayang-Nya masih sama. Tetap luas."
Komentar
Posting Komentar