Memberi dengan Ikhlas Kadang Terasa Berat


 Saya memiliki cerita unik tentang memberi dengan ikhlas. Kira-kira enam tahun yang lalu, saya diceritai oleh bapak saya ketika beliau pulang dari ibadah umrah. Beliau menceritakan kisah temannya yang kehabisan uang ketika menjalani ibadah umrah.

Saat itu, teman bapak saya hanya memegang sisa uang 6 real. Sebagai orang yang habis menunaikan ibadah umrah atau haji, biasanya para jemaah ini membeli oleh-oleh dan jajanan khas kota Mekah untuk para tamu atau keluarga, saudara, dan teman yang berkunjung.

Tentu saja teman bapak saya ini bingung. Ia merasa bersalah jika tidak membeli sesuatu untuk suguh para tamu nantinya. Jikalau membeli, kok uangnya sangat kurang. Jadi, teman bapak saya ini memutuskan untuk jalan-jalan sore di sekitar Masjidil Haram sembari berpikir.

Di tengah jalan-jalan sorenya itu, ia bertemu dengan seorang pengemis yang kedua tangannya buntung karena dihukum potong tangan sampai siku akibat mencuri. Disitulah teman bapak saya menghadapi sebuah dilema. Ingin memberi, tapi nanti ia jadi tidak punya uang lagi. Tidak memberi, kok rasanya tidak tega sama pengemis itu.

Lalu, tiba-tiba terlintas pikiran seperti ini di benak teman bapak saya itu, "Tuhan itu Maha Kaya, dan katanya kalau memberi akan dibalas sepuluh kali lipat." Bermodalkan rasa yakin sambil menguji kebenaran dalil jika memberi 1 akan dibalas 10, teman bapak saya memutuskan untuk menyumbang seluruh uang yang tersisa, yakni 6 real itu kepada sang pengemis.

Setelah memberi 6 real kepada sang pengemis, teman bapak saya lanjut untuk jalan-jalan. Ia menikmati setiap pemandangan di sekitar Masjidil Haram. Melihat orang-orang yang menyebar remah-remah untuk merpati yang berkumpul di dekat Masjid, melihat orang-orang yang berlalu lalang mengenakan pakaian serba putih, dan orang-orang yang saling tawar menawar di toko-toko.

Matahari sore semakin menenggelamkan diri. Sebentar lagi petang, magrib segera datang dan azan segera dikumandangkan. Teman bapak saya memutuskan kembali ke hotel untuk berganti pakaian dan bersiap-siap jamaah salat Magrib di Ka'bah. Eh, maksudnya di Masjidil Haram.

Ketika memasuki lift, ada orang lain yang ditaksir berasal dari Arab. Meskipun teman bapak saya ini tidak begitu tahu Arab bagian yang mana orang ini berasal. Teman bapak saya mengucapkan salam, lalu orang di dalam lift itu menjawab salam teman bapak saya.

Singkat cerita, teman bapak saya telah selesai melaksanakan salat Magrib dan iktikaf sembari menunggu Isya. Seusai jamaah salat Isya, teman bapak saya jalan-jalan lagi. Tidak disangka, ia bertemu lagi dengan orang Arab yang satu lift ketika di hotel tadi. Orang Arab itu meminta teman bapak saya ini untuk menemaninya jalan-jalan juga.

Dua orang ini jalan-jalan di sekitar Masjidil Haram. Melihat toko-toko, melihat orang-orang yang berlalu lalang, dan beberapa orang yang saling tawar menawar di toko-toko itu. Lalu, ketika bapak saya mengajaknya untuk kembali ke hotel, sebab teman bapak saya sudah lelah, orang Arab ini tiba-tiba mengeluarkan uang 300 real dari sakunya sembari berkata, "Terima kasih sudah menemani jalan-jalan. Istri saya berpesan, kalau ada orang yang bersedia menemani saya untuk jalan-jalan beri dia 300 real ini."

Tentu saja teman bapak saya senang bukan kepalang sambil melihat uang yang kini berada di tangannya. Ia bisa membeli jajanan untuk suguh tamunya nanti. Ketika teman bapak saya menoleh ke arah teman jalan-jalannya, ditemuinya teman bapak saya ini hanya sendiri. Orang yang baru saja memberinya 300 real entah pergi ke mana.

Teman bapak saya lalu menangis, ia merasa bersalah telah menguji dalil, tetapi juga bersyukur bahwa menemui bukti nyata dari dalil memberi 1 dibalas 10. Bahkan saat itu dibalasnya lebih dari 10 kali lipat.

Ketika bapak saya selesai bercerita, saya merasakan merinding. Banyak orang bilang kalau apa pun yang dipikirkan dan dibatin oleh manusia di sana akan langsung terwujud.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jatuh Cinta yang Polos

Latihan Menulis untuk Berbagai Kebutuhan

Barang Berharga