Hijrah Boleh Saja, asal Jangan Berlebihan #2

 Saya pernah mendengar mengenai hal ini, tapi saya lupa saat itu ustaz siapa yang menyampaikan, mungkin kamu juga pernah mendengarnya, bahwa kalau sholat itu harus rapat safnya, jika tidak rapat maka di sela-sela antara dua orang diisi oleh syaiton.

Saya mengalami hal lucu terkait saf sholat ini. Ketika itu saya diajak oleh seorang teman, yang berusaha untuk hijrah, ke salah satu masjid di kota Malang. Masjid itu bagus, luas, bersih, dan menawarkan takjil gratis bagi yang berpuasa Senin-Kamis. Jujur saya menyukai tawaran itu.

Sayangnya, sesuatu yang membuat saya suka dengan fasilitas masjid itu terhapuskan ketika tiba waktu shalat magrib berjamaah. Sesaat setelah takbirotul ikhram, kaki perempuan di samping kanan dan kiri menginjak kaki saya hampir bersamaan. Tidak keras memang, tapi cukup ampuh untuk membuyarkan konsentrasi selama gerakan berdiri.

Ketika pulang dari masjid, saya bertanya kepada teman.

"Orang yang jamaah di sini selalu sama?"

"Biasanya lebih ramai."

Saya terperanjat, "Kamu sering jamaah di sini kan? Kakimu juga diinjak?"

"Iya, biasa aja sih. Kan kalau longgar nanti diisi setan."

Saya menepuk jidat. Merapatkan saf bukan berarti menyakiti teman sebelah jamaah. Mengapa dibuat sedemikian susah? Ini yang salah siapa? Yang menyampaikan ceramah atau yang menerima ceramah? Saya juga tidak tahu.

Akhirnya, saya menjelaskan kepada si teman, bahwa dalil itu bukan begitu pengertiannya. Bukan rapat yang sampai menginjak kaki orang lain.

"Yang namanya merapatkan saf, bukan berarti menginjak kaki teman sebelahnya. Tapi, ketika lengan atas bertemu dengan lengan atas. Itu yang dimaksudkan merapatkan saf, bukan berarti bagian kaki juga dirapatkan dengan cara menginjak sebelahnya, kan jadi menyusahkan diri ketika hendak sujud dan berdiri. Juga membuat tidak nyaman sebelahnya."

"Masa sih? Tapi kata ustaz..."

"Jangan cuma ngaji di yutup terus manut begitu saja. Kalau tidak mengerti, seharusnya bertanya langsung."

Ada hal lain lagi yang juga membuat saya cukup bagaimana begitu rasanya. Sebagai perempuan biasa, yang berjilbab apa adanya, yang kadang kala juga mengikuti tren, beberapa kali saya ditegur oleh mbak mbak berhijab jumbo.

Saya pernah memposting foto di instagram. Foto yang menampakkan kaki saya. Tidak ada maksud yang aneh-aneh, saya hanya ingin memposting saja, sebab konten tulisannya juga berhubungan dengan kaki. Kan tidak mungkin kalau saya membahas tentang kaki atau melangkah tapi fotonya daster. Meskipun bagi sebagian kamu itu bisa saja. Tapi bagi saya, itu tidak relevan.

Tiba-tiba sebuah DM masuk dengan peringatan tajam seolah nanti sore sudah kiamat. Saya diberi dalil kalau kaki adalah aurat yang seharusnya tidak diunggah. Saya telah menumpuk dosa dari unggahan foto itu, dan telah menimbulkan nafsu para lelaki bermental tai di luar sana.

Saya bersikap positif saja, menghargai perhatian yang si mbak itu berikan. Mungkin sebenarnya si mbak ini ingin seperti saya tapi tidak bisa. Jadi dilampiaskan kepada saya karena ia sudah kadung berhijrah. Tidak apa-apa mbak. Semoga kelak waktunya lebih bermanfaat lagi ya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Investasi Ilmu, Emang Ada?

Tiga Poin Terakhir dalam Journal Activities

Indscript Creative dalam Sosial Media