Tuhan Bukan Pelupa seperti Manusia

 Suatu hari, aku berkunjung ke rumah mak Siti. Hanya sekadar main saja. Menemani mak Siti yang selalu sendiri di rumah.

Sebagai seorang yang hampir menginjak usia lima puluh, sudah seharusnya mak Siti tinggal bersama anak-anaknya. Tetapi mak Siti bersikukuh untuk tinggal sendiri.

"Mak, kenapa tidak tinggal dengan salah satu anak, emak?"

Mak menceritakan keluarganya. Ia memiliki dua anak yang sekarang tinggal di ibu kota. Beberapa kali ia sudah diajak untuk tinggal dengan salah satu anaknya. Tapi mak Siti selalu menolak. Ia takut jika tinggal di ibu kota bersama anak-anaknya akan membuatnya lupa dengan kekasihnya.

"Mak tidak rindu kah dengan mereka?"

"Mak lebih rindu dengan kekasih sejati, emak."

Mak Siti adalah seorang janda. Ketika masih muda, suaminya pergi berperang dan meninggal di medan perang meninggalkan dua anak perempuan. Sejak itu, ia membanting tulang mencukupi kebutuhan dua putri kecilnya. Bekerja sebagai apa saja. Buruh tani, buruh cuci pakaian, momong anak-anak orang kaya yang orang tuanya sibuk dengan pekerjaan. Semua itu ia lakukan sampai kedua anaknya menikah dan tinggal bersama suami di kota masing-masing.

"Ketika muda aku sudah berkorban banyak. Sampai hanya punya sedikit waktu untuk bertemu kekasih. Sekarang, mak ingin menghabiskan sisa waktu hanya untuk berdua dengan kekasih sejati mak."

Air mataku menetes ketika mendengar cerita mak Siti yang singkat dan penuh makna itu. Suara azan terdengar. Mak segera mengambil wudu dan melaksanakan shalat ashar. Kulihat mukenahnya yang tampak lusuh. Seusai shalat, mak melakukan zikir dengan panjang.

Aku yang kala itu sedang kena tamu bulan merah hanya memperhatikan mak yang shalat dengan kusyuk. Zikirnya juga panjang, tapi ada hal ganjil yang membuatku bertanya-tanya. Aku tidak melihat mak berdoa selayaknya aku, ibu, ayah, dan orang-orang lain yang biasanya berdoa setelah shalat. Aku juga memperhatikan emak yang tidak berdoa ketika usai jamaah maghrib di langgar.

Mak kembali duduk di sampingku setelah zikir panjangnya.

"Mak tidak pernah bedoa?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Rasa penasaranku membuncah. Ketika seluruh manusia pada umumnya memohon ini memohon itu seusai shalat, tapi tidak dengan mak Siti.

"Lho, tentu saja mak pernah berdoa."

"Tapi tadi mak cuma zikir? Setiap jamaah di langgar juga mak hanya berzikir?"

"Gusti Allah itu tidak seperti manusia yang pelupa, nduk. Mak yakin, Gusti tidak akan pernah lupa dengan semua doa mak."

(Terinspirasi dari cerita Gus Baha)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Investasi Ilmu, Emang Ada?

Tiga Poin Terakhir dalam Journal Activities

Indscript Creative dalam Sosial Media