Antara Baik, Mengalah, Bodoh


 

Saya termasuk orang yang lebih memilih mengalah ketimbang berdebat panjang. Pernah suatu kali kursi kereta api yang saya pesan ditempati oleh orang lain. Waktu itu kereta api yang saya tumpangi menuju Kediri dan berangkat dari Jogjakarta.

Saya mengalah. Lebih tepatnya malas untuk menegur bahwa itu kursi saya dan kursi yang kosong disebelahnya adalah kursinya. Saya tahu itu karena saya selalu memesan di bagian yang jumlah deret kursinya 2 baris.

Jadi, saya duduk saja di kursi kosong dan mengalah pada penumpang yang mengambil alih kursi pesanan saya. Ini memang hal sepele, dan seharusnya tidak dibesar-besarkan.

Lalu saya mengirim pesan kepada teman dan mengabarkan bahwa saya sudah berada di kereta sambil kirim pap atau foto di tempat. Teman saya yang mengenal baik diri saya, melihat kejanggalan dalam posisi duduk saya.

"Kamu tidak duduk di dekat jendela? Tumben banget."

"Iya, kursiku tertukar. Tak apalah."

"Tegur saja. Kalau aku udah tak suruh pindah," balas teman saya yang saya taksir ia menulisnya dengan sedikit rasa jengkel.

"Yang penting sampai tujuan dengan selamat."

Lagi pula kursi yang ia duduki dan yang saya duduki bentuk dan kerasnya sama. Hanya posisinya saja yang berbeda.

"Jangan mau diakali orang."

Jujur saja saya sedikit kaget ketika membaca pesan balasan teman saya itu. Saya jadi berpikir kalau mengalah itu adalah tindakan bodoh. Atau mungkin menjadi orang baik itu hanya untuk orang-orang bodoh.

Saya juga pernah berada di posisi penumpang sebelah saya. Dahulu kala, kereta api masih menyediakan tiket berdiri. Saya yang kala itu masih kuliah di Malang, menggunakan moda transportasi kereta api menuju Kediri. Kali itu saya sedang berada dalam fase lelah menyetir motor sendirian, jadi saya memutuskan untuk menggunakan moda kereta api.

Ndilalah tiket duduknya habis, jadilah saya beli tiket berdiri. Ketika di dalam gerbong, saya duduk di mana saja yang kursinya kosong.

Saya beruntung dapat kursi yang penumpangnya naik dari kota Blitar. Ya, waktu itu kereta Malang-Kediri putar ke stasiun Blitar dahulu. Dari stasiun kota Malang hanya saya dan seorang mbak-mbak berkerudung hitam yang menduduki satu bilik kursi. Saya duduk dengan santai sampai sang pemilik asli kursi datang.

Ketika itu pemilik kursinya mas-mas tinggi menjulang. Si mas-mas itu celingak-celinguk. Melihat tiket, lalu nomor kursi, celingak-celinguk, lihat tiket lagi, lalu nomor kursi, celingak-celinguk lagi. Begitu terus sampai entah berapa kali.

Akhirnya si mas-mas menegur mbak-mbak yang duduk di sebelah saya.

"Maaf, mbak, ini kursi saya. Mbaknya duduk di kursi berapa?"

Lalu si mbaknya mengeluarkan tiket. Ia mengucapkan nomor kursi yang ternyata saya duduki sedari tadi.

Sejak awal, si mbak-mbak berkerudung hitam tidak menegur saya. Membiarkan saya duduk dengan nyaman dan menikmati pemandangan di luar jendela.

Bagi saya, mbak-mbak di sebelah saya bukanlah orang bodoh. Ia adalah orang baik yang mengalah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Investasi Ilmu, Emang Ada?

Tiga Poin Terakhir dalam Journal Activities

Indscript Creative dalam Sosial Media