Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2022

Mahkluk Lain

 Belakang rumah mak Siti ditumbuhi tanaman-tanaman menjalar. Binahong dan suruh merah ikut menjalari sebuah bidang yang dibuat mak Siti untuk jalur tumbuh daun-daun itu. Mak Siti juga memanfaatkan sebagian lahan di belakang rumahnya untuk ditanami singkong, bayam, kangkung. Ada pula pohon jambu biji, sirsak, mangga, dan pepaya. Sebuah pohon besar menjulang tinggi pada sisi paling ujung kebon, pohon belimbing wuluh. Seringnya mak Siti memasak makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan di belakang rumahnya. Aku kadang kala menemani mak Siti jika akhir pekan tiba. Sangat menyenangkan berbincang dengan mak Siti, yang kadang kala omongannya harus kucerna lebih dalam lagi. Banyak pesan tersirat yang baru kusadari setelah beberapa hari mengobrol dengan mak Siti. Minggu pagi ini aku menemani mak Siti dan ikut membantunya memasak sayur dengan bahan utama daun pepaya. Aku mengiris-iris bwang merah dan bawah putih, lantas beberapa batang kunyit yang ditumbuk halus. Serai juga tersedia di belakang

Tuhan Bukan Pelupa seperti Manusia

 Suatu hari, aku berkunjung ke rumah mak Siti. Hanya sekadar main saja. Menemani mak Siti yang selalu sendiri di rumah. Sebagai seorang yang hampir menginjak usia lima puluh, sudah seharusnya mak Siti tinggal bersama anak-anaknya. Tetapi mak Siti bersikukuh untuk tinggal sendiri. "Mak, kenapa tidak tinggal dengan salah satu anak, emak?" Mak menceritakan keluarganya. Ia memiliki dua anak yang sekarang tinggal di ibu kota. Beberapa kali ia sudah diajak untuk tinggal dengan salah satu anaknya. Tapi mak Siti selalu menolak. Ia takut jika tinggal di ibu kota bersama anak-anaknya akan membuatnya lupa dengan kekasihnya. "Mak tidak rindu kah dengan mereka?" "Mak lebih rindu dengan kekasih sejati, emak." Mak Siti adalah seorang janda. Ketika masih muda, suaminya pergi berperang dan meninggal di medan perang meninggalkan dua anak perempuan. Sejak itu, ia membanting tulang mencukupi kebutuhan dua putri kecilnya. Bekerja sebagai apa saja. Buruh tani, buruh cuci pakaia

Bayangan di Atas Kepala

 Hari ini ayah pulang malam, sebab ada pekerjaan yang harus diselesai hari ini juga. Jadilah ayah melembur di kantor. Hanya ibu dan aku yang di rumah, dan seorang mbak yang membantu membereskan rumah. Mbak sering berjamaah magrib di musala desa. Orang-orang menyebutnya dengan langgar. Mbak adalah warga asli desa yang dipekerjakan ibu untuk membantu urusan rumah tangga. Dan sebagai sebuah kebiasaan, kebanyakan para ibu desa berjamaah di langgar ketika maghrib tiba, termasuk mbak. Ibu yang beradaptasi dengan lingkungan, beberapa hari yang lalu ikut berjamaah maghrib di langgar bersama mbak. Kali ini ibu mengajakku  ikut serta. Aku menurut saja, beberapa teman sekolahku juga melakukan hal yang sama. Aku merasa ini adalah ritual para penduduk. Ketika sampai di langgar aku bertemu dengan mak Siti yang duduk di barisan paling belakang. Aku mengikutinya, berdiri di sampingnya. Sesuatu yang ganjil terjadi sesaat setelah imam melakukan takbiratul ikhram. Mak Siti tiba-tiba tertawa cekikikan. Ak

Perempuan Itu Bernama Mak Siti

 Ayah memilih rumah di pedesaan daripada di kota. Ia ingin membunuh kekejian dan emosional kota ketika usai dari kantor. Ayah rela menempuh perjalanan sedikit lebih lama untuk sampai di kantor dan sebaliknya demi tinggal di desa ini. Teman ayah yang juga membantuku mencarikan sekolah baru yang memberikan rekomendasi tempat tinggal di sini. Awalnya aku menggerutu. Sebab segala fasilitas cukup jauh jaraknya dari desa tempat tinggal kami. Seperti transportasi umum, toko sepatu, toko pakaian, dan tempat perbelanjaan. Tetapi yang aku sukai juga, hidup di pedesaan ini jauh dari kebisingan dan emosional kemacetan jalanan. "Kita bisa menghirup udara bersih di sini. Jauh dari jalan raya, dan tenang dari suara bising kendaraan. Iya kan?" Aku menyetujui ibu dan mencoba berpikir sepositif mungkin. Pasti ada hal-hal yang menakjubkan yang tidak aku temui di rumah lama. Sebulan berlalu dengan cepat. Aku masih berhubungan dengan Indra. Kami sering melakukan vc dan selalu memberi kabar masing

Pindah Rumah

 Ayahku ditugaskan pada kantor cabang di kota lain. Ini artinya kami sekeluarga ikut pindah ke kota tempat Ayah bekerja. Promosi pimpinan perusahaan tempat Ayah bekerja diberikan sebab keuletan beliau dalam menuntaskan pekerjaan dengan baik. Sebelum berangkat, aku memutuskan janji temu dengan Indra. Pamit. Aku bersyukur bertemu dengan Indra karena ia adalah laki-laki pengertian dan dewasa. Setidaknya itu menurutku. Mungkin karena kami selisih tiga tahun, jadi aku memandangnya seperti seorang dewasa yang menjaga adiknya. "Aku minggu depan pindah rumah." "Kenapa mendadak sekali?" Aku diam. Kesibukan membereskan rumah untuk perpindahan menyita banyak waktu sampai tak sempat membahasanya bahkan hanya dalam chat. Ketika membahas perpindahan rumah, aku telah menyiapkan hati dengan sungguh-sungguh. Banyak temanku yang memiliki hubungan jarak jauh berakhir dengan tragis. Hanya satu dua yang mampu bertahan sampai sekarang, tetapi itu pun salah satu dari mereka juga berkencan

Couples

 Sore ini aku memutuskan untuk menghibur diri ke mall. Hanya untuk bersenang-senang sejenak sembari menikmati pemandangan yang menyegarkan mata. Orang-orang menyebutnya dengan cuci mata. Terkadang aku merasa tergelitik ketika mendengar istilah-istilah macam begitu. Cuci mata, aku jadi membayangkan mata manusia-manusia itu berbusa. Mengerikan. Aku berdiri bersandar tangan pada besi pelindung bagian tepi bangunan di lantai dua. Pada area ini, menurutku sangat pas untuk menikmati hiruk hilir manusia yang sibuk menghabiskan uang gaji yang telah ditabung beberapa bulan. Tulisan disc. 70% terpampang jelas dan besar pada sebuah x-banner di depan toko. Ada pula yang menuliskan up to 90%.  Latar mencolok seperti warna merah memang sering digunakan para marketer untuk menarik mata memandang dan tergiur pada diskon yang diberikan oleh gerai. Di atas sini aku memandangi sekitar. Manusia-manusia di bawah sana. Ada yang asyik bermain ponsel karena gerainya sepi. Ada yang mengaca dan menjajal kacama

Manusia Ramah

 Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia terkenal dengan keramahan para penduduknya. Mulai dari tutur kata, senyum yang dilemparkan bahkan kepada orang yang tidak dikenal, dan mengajak ngobrol basa-basi pada teman seperjalanan dalam transportasi umum. Ngomongin soal transportasi umum, saya sangat beruntung bertemu teman duduk yang ramah. Ya meskipun sekali dua kali juga pernah bertemu dengan yang sangat pendiam dan tidak acuh. Jadi, saya bercerita yang baik-baik saja. Para manusia ramah yang menjelma sebagai teman duduk ketika di bis. Pagi itu saya hendak pulang kampung. Saya sengaja memilih waktu di pagi hari sebab berpikir bahwa penumpangnya mungkin sedikit. Jadi tidak perlu berdesak-desakan. Ketika sampai di terminal, semua imajinasi dan harapan saya pupus sudah. Ternyata penumpang yang menggunakan moda transportasi bus dengan jurusan yang sama dengan banyak tidaklah sedikit. Melihat kerumunan manusia seperti semut yang sedang berebut gula membuat saya sedikit mual. Ingin kemba

Hijrah Boleh Saja, asal Jangan Berlebihan #2

  Saya pernah mendengar mengenai hal ini, tapi saya lupa saat itu ustaz siapa yang menyampaikan, mungkin kamu juga pernah mendengarnya, bahwa kalau sholat itu harus rapat safnya, jika tidak rapat maka di sela-sela antara dua orang diisi oleh syaiton. Saya mengalami hal lucu terkait saf sholat ini. Ketika itu saya diajak oleh seorang teman, yang berusaha untuk hijrah, ke salah satu masjid di kota Malang. Masjid itu bagus, luas, bersih, dan menawarkan takjil gratis bagi yang berpuasa Senin-Kamis. Jujur saya menyukai tawaran itu. Sayangnya, sesuatu yang membuat saya suka dengan fasilitas masjid itu terhapuskan ketika tiba waktu shalat magrib berjamaah. Sesaat setelah takbirotul ikhram, kaki perempuan di samping kanan dan kiri menginjak kaki saya hampir bersamaan. Tidak keras memang, tapi cukup ampuh untuk membuyarkan konsentrasi selama gerakan berdiri. Ketika pulang dari masjid, saya bertanya kepada teman. "Orang yang jamaah di sini selalu sama?" "Biasanya lebih ramai."

Hijrah Boleh Saja, asal Jangan Berlebihan

 Pada tahun 2014 silam, kata hijrah menjadi sesuatu yang viral. Utamanya pada kalangan perempuan yang akhirnya berlomba-lomba untuk mengenakan hijab dengan ukuran jumbo. Kata hijrah pada zaman Nabi Muhammad saw. memberikan arti perpindahan tempat dari Mekkah ke Madinah. Namun hijrah juga memiliki makna merubah sikap, sifat, dari buruk menjadi baik. Tentu saja, sikap baik dan buruk itu tidak lepas dari penilaian diri. Ketika saya memasuki dunia perkuliahan, kata hijrah marak di telinga. Lalu banyak sekali informasi mengenai ngaji  yang tujuannya agar perempuan berhijrah. Ceramah mengenai menutup aurat mencuit di media sosial. Mulai dari yutup, ig, fb, dan banyak ustaz yang menggelar kajian mengenai keperempuanan. Sasaran utama dari kajian dan ceramah yang digelar oleh para ustaz ini adalah mahasiswi. Pikiran segar, semangat belajar, rasa penasaran yang tinggi, dan tentu saja perasaan yang sering digunakan daripada logika adalah target yang tepat untuk mendapat ilmu tentang hijrah. Apala

Kemacetan Nalar Manusia

 Banyak hal yang tidak dapat dicerna oleh nalar manusia. Apalagi kejadian itu menyangkut soal keyakinan. Mata dan pikiran manusia tidak akan mampu membayangkannya sampai ia benar-benar mengalami kejadian itu secara mandiri. Banyak cerita populer menyangkut kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang jika dinalar tidak akan pernah sampai. Otak manusia memang dibuat demikian, terbatas. Meski demikian, ketika rasa yakin itu menancap, maka tidak dapat dipungkiri bahwa tidak ada hal yang mustahil di seluruh jagat raya bagi Sang Pencipta. Saya, mungkin juga kamu, pernah mengalami hal-hal serupa yang jika dipikir-pikir kok rasaya tidak mungkin. Kala itu saya harus segera menuju stasiun. Karena barang bawaan saya yang tidak mungkin diangkut oleh satu sepeda motor, saya akhirnya memesan jasa ojek online dengan moda transportasi roda empat. Cukup satu kali klik, beres sudah pesanan ojek online untuk saya. Karena saat itu  driver  yang beroperasi terbatas, saya mendapat  driver  yang masih dalam perjalan

Ketika Ia Hanya ingin Didengar bukan Diberi Saran

 Saya sering dijadikan sebagai sebuah kertas tempat teman-teman saya meluapkan coretan-coretan cerita. Selayaknya sebuah kertas, saya juga berperan sebagai selembar kertas yang menerima segala coretan cerita itu dengan diam dan ikhlas: mendengarkan. Banyak dari perempuan, mungkin tidak semua perempuan, hanya teman-teman perempuan yang saya kenal saja, ketika bercerita sebenarnya hanya butuh untuk didengarkan, bukan diberi saran. Tapi, ada juga teman yang sangat menjengkelkan ketika bercerita. Malam itu, teman saya mengirimkan pesan pendek lewat aplikasi pesan singkat yang populer sampai saat ini. Kamu pasti tau apa nama aplikasi itu. Ia mengajak saya bertemu di sebuah kafe yang baru buka beberapa bulan lewat. Sebagai teman yang baik, saya mengiyakan. Kami bertemu ketika sore menjelang habis. Saya memesan es latte dan roti bakar, teman saya memesan ice lemon tea dan kentang goreng. Lalu kami duduk berhadap-hadapan di kursi dekat jendela yang juga dekat dengan colokan. Siapa tahu nanti

Antara Kamar Mandi atau Kasur

 Sebagai kaum rebahan, saya, mungkin juga kamu, pernah mengalami dilema ketika berada di kasur lalu tiba-tiba kebelet buang air kecil. Saya sering mengalami hal semacam itu. Tapi, lebih seringnya ketika mata ini sungguh berat untuk dibuka, atau bisa kita sebut: ngantuk. Ada yang bilang bahwa jangan minum air putih sebelum tidur, itu akan mengganggu ginjal . Tapi, setelah saya baca-baca dan mendengar penjelasan dari dokter Farhan Zubedi bahwa sebenarnya tidak masalah dengan minum air putih sebelum tidur. Hanya saja, kita bisa saja terbangun di tengah malam karena kebelet buang air kecil. Ketika tengah malam, saya juga sering terbangun gara-gara kebelet buang air kecil. Di sini lah hati saya dan perasaan saya terasa bergejolak. Saya dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama memiliki risiko untuk pribadi. Pertama, bangun dan buang air kecil dengan risiko rasa mengantuk perlahan menghilang dengan siraman rasa dingin air kamar mandi yang berakibat pada susah tidur lagi. Kedua, mengabaikan

Perbedaan Ketika Beli di Toko Buku dengan Beli di Toko Lain

Saya pernah merasakan perbedaan saat membeli barang di toko buku dengan di toko lain. Perbedaan ini rasanya mencolok sekali. Misal, setiap saya datang ke toko buku, tidak ada mas mas atau mbak mbak pramuniaga yang ngintil di belakang. Mereka selalu pada posisi masing-masing dan memberikan keleluasaan kepada para pelanggan untuk berjalan-jalan, melihat-lihat tanpa syarat melepaskan jaket atau melarang membawa tas. Kalau ada yang datang mereka tersenyum, kalau ada yang pergi tanpa membawa apapun juga tetap tersenyum tanpa rasa curiga pada isi tas si pelanggan. Hal ini juga berlaku ketika saya mendatangi bazar buku, bahkan yang besar sekalipun. Berbeda dengan ketika saya memasuki toko kosmetik dan pernak-pernik di salah satu toko di kota Kediri. Kala itu saya sedang butuh membeli sesuatu di toko serba ada dekat rumah. Di toko tersebut tempampang dengan jelas dan besar bahwa pelanggan tidak boleh memasuki toko dengan menggunakan jaket dan tas besar. Para pelanggan diarahkan untuk menitipk

Rasa Sepi Seekor Ikan

Saya ingin sekali memiliki hewan peliharaan. Seperti anjing atau kucing. Atau kalau bisa yang lebih dari mainstream, serigala. Jadi kayak kak Alshad. Tapi, dalam memelihara hewan harus disertai dengan niat dan sadar akan risikonya. Niat yang kuat untuk menjaga dan tidak menelantarkan hewan kesayangan yang menjadi peliharaan itu. Dan siap untuk selalu merawat serta memberi makan agar tidak kelaparan. Risiko yang paling terlihat adalah waktu dan kondisi finansial yang harus selalu mapan, juga hati yang teguh kalau ternyata hewan peliharaanmu itu tiba-tiba berpulang kepada Yang Maha Kuasa lebih dulu dibanding kamu. Saya pernah memelihara anak ayam yang dicat warna-warni. Kala itu saya masih anak SD yang bahkan kalau makan harus diingatkan lebih dulu sama ibu tercinta. "Ibuk, saya mau hewan itu," pinta saya kepada ibu tercinta ketika melewati abang penjual anak ayam. "Emang kamu bisa menjaganya biar enggak kelaparan?" tanya ibu. Waktu itu saya hanya berpikir, memang apa

Profesi Pustakawan yang Sering Dianggap Kerjanya Hanya Duduk Saja

Saya kesal ketika ada yang berkata, " Lho , kan pustakawan kerjaannya hanya duduk dan menunggu buku saja." Ketika mendengar kata-kata itu, ingin rasanya saya menggeret orang itu menuju perpustakaan lalu saya ajak untuk mengelola koleksi, terutama buku-buku yang ada di perpustakaan. Saya pernah dilempari kata-kata semacam itu oleh saudara, dan rekan kerja sendiri. Saudara saya dan rekan kerja yang tidak begitu paham akan dunia perpustakaan itu meremehkan profesi pustakawan dengan berkata seperti yang saya tulis di atas. Tentu saja hati saya menjadi dongkol mendengar ujaran semacam itu. Semua profesi di dunia ini pasti ada gunanya, tidak hanya duduk-duduk saja, sekalipun tukang jaga kamar mandi umum. Mereka, yang juga terlihat hanya duduk sembari menunggu uang kecil yang dimasukkan dalam kotak kayu, juga memiliki peran aktif dalam hal perkamarmandian umum. Misal, kalau ada yang mau memasuki kamar mandi, sedangkan di kamar mandi masih ada orang lain, si penjaga juga memiliki pe

Pembangun Dini Hari

Kejadian ini saya alami ketika kuliah di kota Malang. Dulu, sewaktu duduk di sekolah dasar, saya sering tidur di rumah bude. Saya tidur sekamar dengan mbak sepupu. Setiap malam, sebelum tidur, ia selalu mengajak dirinya mengobrol yang seolah sedang mengobrol dengan orang lain dengan nama yang sama dengannya. Ia juga meminta tolong untuk dibangunkan pada waktu subuh oleh dirinya sendiri. Saya yang waktu itu masih esde, ya sebenarnya kita sama-sama masih esde, merasa heran dengan apa yang dilakukan oleh mbak sepupu. Oh, iya, sebut saja nama sepupu saya ini Yulis, nama yang sengaja saya samarkan. " Awakmu nyapo to mbak? " tanya saya ketika melihat ia berbincang dengan dirinya sendiri dengan menepuk dadanya. " Jare ibukku awakdewe iki nduwe kembaran. Terus jare ibukku ben awakdewe iso tangi sakdurunge subuh kuwi ya ngobrol karo awake dewe, ya kembarane awakdewe kuwi, njaluk tulung ben ditangekne sakdurunge azan subuh. " Kata ibu saya kita ini punya kembaran. Terus kata

Perkara Nama

Setelah saya mengamati, ternyata nama saya termasuk pasaran. Saya pernah memiliki pengalaman unik dan lucu mengenai nama yang ternyata menjadi pasar para orang tua dalam memberi nama anaknya, khususnya perempuan. Satu waktu, ketika di kampus, nama saya yang konon adalah hasil dari iuran bapak dan mbah kung, ternyata telah dimiliki oleh tidak hanya segelintir tetapi banyak mahasiswi. Sampai-sampai saya ogah menoleh ketika ada yang berteriak menyebut nama panggilan yang sama dengan saya. "Rahma!" begitu teriak seorang mahasiswi, mengapa saya menyebutnya mahasiswi, sebab dari suaranya sudah kentara kalau dia perempuan. Saya yang kala itu sedang berjalan menjauhi gedung fakultas menoleh. Saya melihat seorang perempuan (nah kan bener dia perempuan) yang berjalan menuju arah saya. Tetapi, saya merasa asing dengan wajah si pemanggil. Teman satu jurusan? kok, bukan. Teman Himpunan? juga bukan. Jadi, saya tersenyum dan bertanya, "Ada apa?" ketika si pemanggil itu hanya berj