Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2022

Memberi dengan Ikhlas Kadang Terasa Berat

Gambar
 Saya memiliki cerita unik tentang memberi dengan ikhlas. Kira-kira enam tahun yang lalu, saya diceritai oleh bapak saya ketika beliau pulang dari ibadah umrah. Beliau menceritakan kisah temannya yang kehabisan uang ketika menjalani ibadah umrah. Saat itu, teman bapak saya hanya memegang sisa uang 6 real. Sebagai orang yang habis menunaikan ibadah umrah atau haji, biasanya para jemaah ini membeli oleh-oleh dan jajanan khas kota Mekah untuk para tamu atau keluarga, saudara, dan teman yang berkunjung. Tentu saja teman bapak saya ini bingung. Ia merasa bersalah jika tidak membeli sesuatu untuk suguh para tamu nantinya. Jikalau membeli, kok uangnya sangat kurang. Jadi, teman bapak saya ini memutuskan untuk jalan-jalan sore di sekitar Masjidil Haram sembari berpikir. Di tengah jalan-jalan sorenya itu, ia bertemu dengan seorang pengemis yang kedua tangannya buntung karena dihukum potong tangan sampai siku akibat mencuri. Disitulah teman bapak saya menghadapi sebuah dilema. Ingin memberi,...

Janganlah Berganti

Gambar
 Tadi pagi, saya tiba-tiba teringat dengan lagu Sahabat Kecil yang dilatunkan oleh Ipang. Lagu yang tergiang-ngiang pada lirik: Bersamamu kuhabiskan waktu Senang bisa mengenal dirimu Rasanya semua begitu sempurna Sayang untuk mengakhirinya Janganlah berganti... Janganlah Berganti... Janganlah Berganti Tetaplah seperti ini Membuat saya teringat dengan masa kecil saya bersama teman-teman sebaya di sekolah. Ternyata hal ini juga dirasakan oleh salah satu teman saya. Ia mengingat masa kecilnya di kampung ketika bersama teman-temannya. Bermain-main, bersenang-senang, bercanda dan tertawa lepas tanpa beban. Tidak memiliki masalah berat akan hidup. Memandang dunia sebagaimana apa adanya dengan daya otak anak-anak yang menyenangkan. Tetapi, hal-hal yang paling ia sedihkan adalah teman-temannya. "Sekarang aku ngerasa temenku makin dikit ya?" Saya menghembuskan napas panjang. Mencoba membaca arah pembicaraan teman saya ini. "Kalau dipikir-pikir, semakin kita dewasa semakin dikit t...

Laut Tak Perlu Garam

Gambar
 Mak Siti memelukku, tapi tak berkata-kata. Anehnya, sebuah rasa tenang dan lega menyelimuti hatiku. Hangat perlahan merayapi seluruh organ dalam tubuh. Seperti aliran darah yang membawa oksigen untuk seluruh organ dan bagian dalam tubuh dan sel-sel juga jaringan yang membentuk badan. Rasa hangat itu menyebar. Aku tak lagi menggigil. Aku merasa hangat layaknya orang-orang di negara dengan lima musim yang duduk berlama-lama di depan perapian untuk menghangatkan tubuh ketika udara dingin menguasai yang disertai dengan hujan salju ketika menjelang natal. Perlahan tangisanku berhenti. Aku menjadi lebih tenang dari sebelumnya. Semua rasa sepi yang kurasakan beberapa hari terakhir seolah sirna begitu saja hanyut ditelan ombak yang menggulung-gulung. "Terima kasih, Mak." "Mak, kan, sudah bilang. Kalau kamu merasa kesepian datanglah ke rumah." Aku tersenyum getir. "Aku masih patah hati, Mak." "Aku enggak nyangka aja, Mak, kalau Indra bakal melakukan itu....

Kalau Merasa Sepi, Datanglah ke Rumah

 "Assalamu'alaikum!" Suara Mak Siti terdengar sampai kamarku. Aku sengaja tidak beranjak. Tubuhku masih terasa sakit semua. Kakiku lemas untuk melangkah, bahkan untuk berdiri sekadar tubuhku saja kakiku tak mampu. "Waalaikum salam. Mak Siti. Ada apa?" "Ah, aku kangen sama anakmu. Di mana ia? Biasanya ke rumah, kok, sudah berminggu-minggu tidak ke rumah." "Oh, dia lagi mempersiapkan tes masuk universitas, Mak. Nanti aku suruh untuk ke rumah Emak ya." "Yasudah kalau begitu. Katakan emak tunggu di rumah ya, nduk. Oh iya, satu lagi-" Ibu menutup pintu. Aku mendengar langkah ibu menuju kamarku. Satu, dua, tiga. Tepat setelah hitungan ketiga, ibu mengetuk pintu kamarku. "Nak..." Aku masih berada di atas kasur. Tubuhku telentang, tak berdaya. Mataku terpejam. Aku masih merasakan sakit luar biasa akibat patah hati. Sakit yang akhirnya menyerang fisikku pula. Kata orang, tak ada lagi gunanya menangisi yang telah lalu. Tapi nyatanya...

Menulis Bisa Menghasilkan Cuan. Benarkah begitu?

Pada bulan lalu. Lebih tepatnya tanggal 15 Juni 2022, saya mengikuti webinar gratis yang diadakan Nulisyuk bersama Indari Mastuti sebagai narasumber. Tidak banyak diketahui bahwa sebenarnya "menulis dapat menghasilkan cuan," begitu ungkapnya. Sudah barang tentu kalimat ini membangkitkan gelora menggebu dalam diri peserta yang mengikuti kegiatan webinar gratis ini. Kalimat bahwa "menulis dapat menghasilkan cuan" telah membius para peserta dengan semangat menggebu dan ingin segera mendaftar kelas selanjutnya yang dihelat oleh Nulisyuk, dan tentu saja dengan narasumber yang sama. Indari Mastuti. Ada satu kalimat lain yang bagi saya sangat mengena ketika mengikuti kelas menulis Ubah Tulisan Jadi Cuan ini adalah "tulisan yang baik dengan bayaran jutaan membutuhkan proses." Sebagai salah satu perserta kelas, ya meskipun saya terlambat masuk kelas tadi pagi, saya meyakini apa yang dikatakan oleh Bu Indari adalah betul adanya. Memiliki kemampuan menulis dan mengha...

Seperti Tusukan Duri Mawar

 Langit masih gelap. Bulan dan bintang bersembunyi di balik awan mendung. Hujan tak kunjung datang. Malam ini udara terasa pengap. Air keringat menguap ke langit. Kipas angin kunyalakan sedari tadi. Tidurku menjadi tidak nyenyak. Tidak seperti biasanya, malam terasa berjalan lambat dengan segala kepengapan yang sama dengan hatiku. Ujian nasional segera tiba. Ujian yang kurasa aneh dan tidak adil saja bagiku. Bagaimana bisa sebuah kelulusan ditentukan dalam tiga hari ujian. Lantas, ujian yang lalu-lalu bagaimana? Ah ini hanyalah gerutuan anak sekolah yang masih labil kurasa. Malam ini waktu berjalan begitu lambat. Ataukah kegelisahanku yang membuatnya nampak lambat seperti bekicot. Esok aku akan menghadapi ujian nasional. Hanya tiga hari saja rasa gelisah ini akan menghampiri. Benarkah begitu atau hanya dugaanku saja? Tapi, ada yang aneh dalam gelisahku ini. Gelisah yang bertumpuk-tumpuk. Gelisah yang tidak hanya pada satu kejadian saja. Ada gelisah yang menjadi bayang-bayang dibela...

Barang Berharga

 Karena mak Siti tidak ingin tinggal di ibu kota bersama kedua anaknya. Pada akhirnya, kedua anak mak Siti membangunkan rumah layak huni untuk mak Siti. Awalnya mak Siti tidak ingin rumah reyotnya dibangun ulang. Perlu bujukan berulang agar mak Siti mau menerima kebaikan sebagai balas budi kepada ibu mereka. Tembok anyaman bambu, gedek, dirubuhkan diganti dengan batu bata. Lantai tanah dilapisi dengan semen. Mak Siti tidak ingin lantainya dipasang keramik, cukup diplester saja, begitu ujarnya. Sanitasi kamar mandi dipoles menjadi kamar mandi yang lebih nyaman ketika digunakan untuk mandi, mencuci, dan keperluan lain di sana. Sebuah kendi sebagai wadah air untuk berwudu juga terpasang di samping kamar mandi. Untuk bagian dapur, mak Siti tetap pada pendiriannya untuk tetap menggunakan tungku. Ia tak ingin repot menenteng tabung gas dari warung sebelah rumah Pak Dollah, belum lagi harus memasang selang penyambung antara tabung gas dengan kompor. "Aku tetap memasak dengan tungku. Jang...