Beda Agama

Dalam lingkaran pertemanan saya, masih banyak yang nggumun kalau saya punya teman beda agama. Saya sendiri juga heran kepada teman-teman saya ini. Bagi saya, pertemanan beda agama adalah hal yang lumrah, sebab kita hidup dengan banyak orang, tidak di hutan. Dan orang ini bermacam-macam.

Saya punya teman akrab sejak di bangku menengah atas yang baru saya sadari ternyata kami satu sekolah sejak di bangku menengah pertama. Sebutlah namanya Risti. Kami adalah teman dekat, akrab, dan termasuk sahabat. Pertemanan kami langgeng sampai kini. Dan saya mensyukuri hal itu.

Selain pertemanan kami yang baik, keberuntungan juga menghampiri kami. Beruntung orang tua Risti bukanlah orang-orang golongan fanatik pada suatu keyakinan ketika islamophobia marak di mana-mana. Ketika jihad dengan cara meledakkan diri menjadi populer.

Kami menghargai keyakinan masing-masing, dan saya rasa, dari menghargai dan toleran inilah kami mampu menjaga pertemanan kami sampai saat ini. Kami bahkan saling mengingatkan ketika memasuki waktu ibadah masing-masing. Seperti saat waktu shalat, ia selalu mengingatkan dan tidak tanggung-tanggung untuk mengantar saya ke Masjid sekolah dan menunggui saya sampai selesai ibadah.

Pernah satu waktu saya merasa lelah dan berniat untuk menunda shalat dhuhur dan melaksanakannya di rumah saja. Angka-angka pada matematika dan fisika hari itu menguras banyak tenaga saya.

"Kamu jangan menunda-nunda shalat sebelum kamu dishalati. Ayo aku antar ke Masjid." Ingatnya kepada saya.

Tidak jarang pula ketika kami keluar sekadar untuk jalan-jalan, ia akan membelokkan setir motornya dan memasuki halaman parkir sebuah Masjid atau Langgar. Saya juga beberapa kali mengantar Risti ke Gereja, tapi tidak sesering ia mengantar saya untuk shalat.

Bersamanya pula saya berdiskusi mengenai hal-hal yang berbau agama. Seperti tatacara beribadah ketika ada yang meninggal lalu menguburkan jenazah, tatacara berdoa sebelum dan sesudah makan. Ya, memang sesimpel itu. Tapi, bukan berarti kami tidak membicarakan berita agama yang marak dan baru bagi kami yang masih remaja itu.

Waktu itu marak berita mengenai perang Palestina dan disusul dengan berita teroris. Penyiar dan penulis berita banyak yang mengatakan bahwa teroris ini berasal dari Arab dan muslim. Ketika berita itu mencuat pada media koran, teve, dan radio, banyak dari masyarakat kota yang menjadi enggan untuk bersosialisasi dengan muslim, yang akhirnya bersangkutan dengan agama.

Beruntungnya lagi, Risti tidak termakan oleh berita-berita macam begitu. Bahkan ia merasa jemu ketika Islam dikata agama teroris.

"Teroris itu orang yang tidak beragama." Tiba-tiba ia melontarkan teorinya, "karena semua agama mengajarkan untuk tidak membunuh orang lain tanpa sebab. Kalaupun ada yang bilang berarti ada sebabnya, tetap saja kita tidak berhak mengambil nyawa orang lain dengan seenaknya. Memang manusia ini malaikat atau dewa utusan Tuhan untuk mencabut nyawa?"

Risti tampak sangat kesal.

"Aku benci kalau ada yang bilang teroris itu adalah Islam. Mereka itu tidak tahu apa-apa malah ngomong sembarangan."

Ia menggebu-gebu.

"Kamu tidak terima karena berteman dengan aku yang Islam?"

"Bukan begitu." Wajahnya nampak lebih kesal, "kalau memang Islam mengajarkan terorisme, pasti semua orang muslim diajari membuat bom kan? Tapi, buktinya, kamu juga tidak bisa meracik bahan peledak."

Saya rasa ada betulnya apa yang diucapkan oleh Risti. Dan jujur saja, saya mengagumi pemikirannya yang blak-blakan dan tanpa tedeng aleng-aleng. Sekaligus peringatannya akan apa-apa yang tidak halal untuk saya.

Pernah kami jalan-jalan untuk menghibur diri saat libur sekolah ke Pohsarang. Tempat patung bunda Maria berdiri dengan anggun dan dijadikan sebagai tempat beribadah juga tempat wisata. Setelah selesai mengelilingi area wisata, saya yang belum sarapan merasakan lapar yang kuat. Saya berencana untuk andok atau membeli cemilan di warung dekat tempat wisata itu.

"Ris, beli makan di warung itu, yuk!" Saya menunjuk warung dengan bangunan kayu yang berada di ujung jalan.

"RW itu nama lain dari daging anjing." Ia menjelaskan seolah tahu apa yang membuat saya penasaran sampai menunjuk pada warung di ujung jalan. Di depan warung itu terpampang menu andalan krengseng RW. Menu makanan baru yang bikin saya penasaran dan ingin menicipipinya.

Lalu ia memberikan informasi di mana saja warung-warung atau tempat makan yang mengandung minyak babi saat kami dalam perjalanan mencari tempat makan yang pas untuk makan siang.

Pertemanan beda agama ini memberikan pelajaran berharga pada hidup saya. Saya mengerti arti menghargai pada titik tertentu, menghargai hak orang lain dalam beragama dan pendapat-pendapatnya. Yang penting pendapat itu tidak menjerumuskan.

(Ditulis pada Februari 2016)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Investasi Ilmu, Emang Ada?

Tiga Poin Terakhir dalam Journal Activities

Indscript Creative dalam Sosial Media